Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kejahatan Seksual terhadap Anak: Dari Korban Menjadi Penyintas

28 Maret 2017   14:22 Diperbarui: 28 Maret 2017   14:32 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kejahatan seksual terhadap anak (sumber gambar: http://regional.liputan6.com)

Amankah anak-anak kita dari sasaran penjahat seksual? Pertanyaan ini mengemuka di tengah kembali maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak. Setelah pada 14 Maret lalu Polda Metro Jaya mengungkap jaringan prostitusi anak online di Facebook, Polres Karanganyar juga menangkap seorang tersangka kejahatan seksual yang telah beraksi sejak 2003. Tersangka di Karanganyar menyasar anak-anak usia 8-10 tahun sebagai korban. Kasus ini tentu menambah kecemasan para orangtua. Sepertinya tidak ada lagi ruang bermain yang benar-benar aman bagi anak.

Februari lalu, Pusat Pelayanan Terpadu Seruni Kota Semarang melansir 33 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan kepada mereka di tahun 2016. Kasus tersebut dialami oleh anak laki-laki dan perempuan dengan pelaku orang dewasa atau sesama anak-anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan kasus kejahatan seksual pada anak meningkat 100 persen dalam rentang 2013-2014 (sumber data di sini). Berdasarkan data tersebut, saya meyakini banyak kasus serupa yang belum dilaporkan, karena umumnya anak korban kejahatan seksual takut untuk mengadukan kasusnya kepada orangtua.

Pelaku kejahatan seksual harus diberikan hukuman maksimal, namun kita tidak boleh melupakan anak-anak yang menjadi korban. Tanpa pendampingan psikologis, anak yang menjadi korban kejahatan seksual rentan mengalami stres atau bahkan bisa menjadi pelaku di kemudian hari. Lalu bagaimana memutus mata rantai korban menjadi pelaku ini?

Salah satu kekhasan kasus kejahatan seksual terhadap anak, kebanyakan korban tidak menyadari bahwa dirinya telah dirugikan, baik secara fisik maupun psikis. Keadaan ini bisa mempersulit pengungkapan kasus. Selain itu, pelaku menyasar anak-anak yang bermain tanpa pengawasan orangtua. Seorang pedofil misalnya, mereka akan bersikap ramah dan hangat terhadap anak-anak. Itu adalah trik agar mereka disukai oleh anak. Ketika pedofil telah mendapatkan kepercayaan dari si anak, maka permainan yang mengarah pada pelecehan seksual dimulai. Keberlanjutan aksi mereka sangat tergantung dari respons anak. Pada beberapa kasus ekstrem, anak yang menolak disodomi akan dilukai atau dibunuh.

Deteksi Dini Dampak Kejahatan Seksual terhadap Anak

Anak-anak korban kejahatan seksual belum mampu mencerna dengan utuh apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka. Di satu sisi, kondisi itu membantu anak untuk lekas pulih dari traumanya. Di sisi lain, kondisi itu membuat anak kesulitan mengomunikasikan perasaan mereka kepada orangtua. Jika Anda menemukan anak yang menjadi korban kejahatan seksual, lindungi privasi mereka dan jangan berikan cap negatif kepadanya.

Sikap orangtua yang berlebihan justru membuat anak bertambah stres dan trauma. Apalagi jika korban kejahatan seksual diliput oleh media massa dan diberikan pertanyaan yang malah membuat mereka makin tidak nyaman. Oleh karena itu, biarkan anak melakukan aktivitas harian rutin dan berikan pemahaman bahwa mereka sangat disayangi oleh orang-orang terdekatnya. Ketika aktivitas harian terganggu karena terungkapnya kasus, anak semakin merasa tidak nyaman secara psikologis.

Ada beberapa langkah untuk deteksi dini sekaligus pemulihan kondisi psikologis anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Langkah pertama, amati perubahan perilaku anak. Jika orangtua menemukan perilaku yang tidak lazim, coba dekati dan ajak anak berkomunikasi. Tantangan lebih besar akan dirasakan oleh orangtua yang tidak membiasakan komunikasi rutin dengan anak. Alih-alih bercerita, anak akan takut ketika ditanya oleh orangtuanya. Pola komunikasi yang baik antara orangtua dan anak menjadi faktor penentu keberhasilan pemulihan mental anak.   

Langkah kedua, dengarkan cerita dan keluhan anak. Jika anak tidak mau bercerita atau bahkan menjauh dari orangtua, ajaklah anak bermain. Dunia anak adalah dunia bermain. Anak akan lebih nyaman berada di dalam dunianya. Daripada mengajak anak bercerita dengan gaya orang dewasa, lebih baik orangtua yang menyelami dunia anak dengan bermain. Kenali permainan favorit anak dan gunakan permainan tersebut sebagai simbol/media untuk bercerita. Sebagai contoh, saya pernah membantu seorang anak bercerita mengenai kronologis kasus pelecehan seksual yang dialaminya dengan media boneka tangan.

Langkah ketiga, berkomunikasi dengan profesional kesehatan mental bila diperlukan.Langkah ini dilakukan jika orangtua kesulitan mengenali perubahan perilaku dan anak menjauh ketika diajak bercerita/bermain. Orangtua dapat menghubungi psikolog, dokter, atau komisi perlindungan anak setempat,  tergantung dari masalah utama yang dialami oleh anak.  

Anak-anak korban kejahatan seksual tetap memiliki hak untuk hidup normal dan lepas dari trauma. Orang dewasa berkewajiban memulihkan mental dan menanamkan keyakinan positif pada mereka. Selayaknya anak-anak ini bertransformasi dari korban menjadi penyintas, demi memutus mata rantai korban menjadi pelaku. Mereka harus bangkit, pulih, dan kembali menemukan dunianya yang ceria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun