Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kekerasan Seksual dalam Pusaran Relasi Kuasa

2 Agustus 2020   15:28 Diperbarui: 2 Agustus 2020   18:11 1514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban kekerasan seksual (KOMPAS.com/LAKSONO HARI WIWOHO)

Wajarkah lelaki menjadi korban kekerasan seksual? Merujuk pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang dipublikasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, hingga 2 Agustus 2020 terdapat 7.694 kasus kekerasan di Indonesia (yang terdata) dengan sebaran 6.671 korban perempuan dan 1.684 korban laki-laki.

Dari jumlah ini, 43 persen korban lelaki berusia antara 13-17 tahun (usia sekolah). Korban lelaki di usia yang lebih tua pun cukup banyak: 4,9 persen untuk usia 18-24 tahun dan 8,6 persen untuk usia 15-44 tahun (Kementerian PPPA, 2020). Lewat data ini, apakah Anda masih berpikir bahwa kaum lelaki tak mungkin menjadi korban kekerasan?

Korban Kekerasan Berjenis Kelami Lelaki di Indonesia (sumber gambar: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan )
Korban Kekerasan Berjenis Kelami Lelaki di Indonesia (sumber gambar: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan )
Data Kasus Kekerasan di Indonesia (Sumber gambar: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan )
Data Kasus Kekerasan di Indonesia (Sumber gambar: https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan )
Ada satu riset lawas tetapi menarik mengenai kepatuhan terhadap otoritas. Riset yang dilakukan pada 1962-1963 ini terinspirasi dari kepatuhan prajurit selama Perang Dunia II. 

Milgram mengamati banyak prajurit yang melakukan hal ekstrem (membunuh orang lain, mengorbankan diri) karena mereka berada di bawah doktrin dan komando otoritas. Milgram menerapkan mekanisme ini pada eksperimen yang dilakukannya terhadap 40 relawan yang memainkan peran sebagai guru. 

Milgram memerintahkan relawan untuk memberikan hukuman berupa tegangan listrik level rendah hingga tinggi bila ada murid yang melakukan kesalahan dalam menjawab soal. Hasilnya, sebanyak 26 relawan mengikuti perintah Milgram dan memberikan tegangan tertinggi pada murid yang terus melakukan kesalahan. 

Sisanya berhenti sebelum mencapai tingkat tertinggi (Milgram, 1963). Pada kenyataannya, tidak ada tegangan listrik dan para murid yang sengaja menjawab soal dengan salah adalah asisten Milgram yang telah memahami skenario riset (Russell, 2011).

Apa kaitan antara riset tersebut dengan kepatuhan pada korban kekerasan seksual? Ada kecenderungan ketidakmampuan menolak "perintah" otoritas dan tidak ingin menolak permintaan yang dipersepsikan baik serta tidak melanggar moral. Itulah mengapa pada banyak kasus kekerasan seksual, pelaku mendekati korban dengan mekanisme rasionalisasi. 

Saya pernah menangani kasus kekerasan seksual dalam pacaran yang sampai membuat korban berpikir untuk bunuh diri. Sebelum berpacaran, pelaku selalu menawarkan bantuan untuk mengerjakan tugas korban yang merupakan adik tingkatnya. Sekian bulan saling kenal, mereka kemudian berpacaran dan di saat inilah pelaku meminta hubungan seksual dengan dalih korban sudah banyak dibantu tugasnya oleh pelaku. 

Saat korban menolak, pelaku marah dan menyebut korban sebagai orang yang tidak tahu terima kasih. Di titik ini, korban bimbang karena dia memang merasa banyak dibantu oleh pelaku, tetapi dia juga tidak rela melakukan hubungan seksual dengan pelaku.

Relasi kuasa seperti ini terjadi selama lebih dari setahun hingga korban memilih pindah universitas karena tidak tahan diancam oleh pelaku yang ingin menyebarkan gambar tanpa busana korban ke media sosial.  

Dapatkah Kekerasan Seksual Dicegah?
Kekerasan seksual tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, jenis pakaian, strata sosial, level pendidikan, agama, suku, dan hal-hal stereotip lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun