Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Risiko Bunuh Diri dan Stigma yang Menghantui Kita

10 Oktober 2019   12:41 Diperbarui: 10 Oktober 2019   12:52 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. HIMPSI, HKMS 2019

Barangkali kita masih ingat dengan kasus seorang mahasiswa pascasarjana (usia 25 tahun) di Bandung yang ditemukan tewas gantung diri awal September lalu (CNN Indonesia, 2019). Di kamarnya ditemukan surat keterangan dari dokter spesialis kejiwaan bahwa korban mengalami depresi. 

Sebelumnya juga ada kasus mahasiswa semester 13 yang bunuh diri dan diduga dipicu oleh beban tugas akhir (Halo Dokter, 2019). Yang terbaru, pada 7 Oktober kemarin, seorang siswa SD berusia 12 tahun di Temanggung ditemukan meninggal karena gantung diri. Menilik kasus-kasus tersebut, sudah sepatutnya kita peka dan waspada terhadap perubahan emosi dan perilaku yang dapat mengarah ke risiko bunuh diri. 

World Federation of Mental Health (WFMH) mengangkat isu Suicide Prevention sebagai tema Hari Kesehatan Mental Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Oktober 2019. Isu pencegahan bunuh diri menjadi sangat relevan di Indonesia karena problem kesehatan mental menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. 

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan kenaikan prevalensi kasus gangguan mental emosional bila dibandingkan dengan tahun 2013. 

Pada 2018, prevalensi kasus gangguan mental emosional di Jawa Tengah pada penduduk usia lebih dari 15 tahun sebesar delapan persen. Jumlah ini naik sekitar 3,3 persen bila dibandingkan kasus di tahun 2013. Di tengah peningkatan kasus tersebut, masih ada problem lain terkait stigma negatif terhadap orang yang mengalami masalah kejiwaan.

Di sesi kuliah, penulis kerap menyampaikan kepada mahasiswa untuk melihat problem kejiwaan sebagai situasi yang dapat dihadapi oleh siapa pun dan tidak menjadikannya sebagai bahan olokan. Penulis  meminta mahasiswa untuk berbagi pengalaman saat mereka menghadapi problem emosi. 

Lebih dari separuh mahasiswa pernah mengalami gejala depresi seperti hilang minat, rasa bersalah yang berlebihan, pesimis, masalah tidur, hingga usaha untuk melukai diri. Sebagian besar mahasiswa merasa malu dengan masalah emosinya dan takut dianggap aneh oleh orang lain.  Bahkan di dunia psikologi pun, stigma itu masih ada.

Kesehatan Mental dan Isu Bunuh Diri 
Riset yang dipublikasikan oleh The American Journal of Psychiatry menyebutkan bahwa gangguan psikologi muncul pada sekitar sembilan puluh persen remaja yang melakukan bunuh diri (Wilkinson, Kelvin, Roberts, Dubicka, & Goodyer, 2011).  

Gangguan psikologi yang paling umum ditemukan pada kasus bunuh diri adalah depresi mayor, yang muncul pada tiga puluh lima persen kasus bunuh diri (Wilkinson dkk., 2011). 

Depresi memiliki kaitan erat dengan bunuh diri karena seseorang yang mengalami depresi kerap merasa putus asa, hilang motivasi, dan merasa tidak ada orang lain yang peduli terhadap dirinya (Lumongga, 2016).

Risiko bunuh diri bukan perkara sepele yang dapat diabaikan begitu saja. Dilansir dari WHO, di seluruh dunia ada setidaknya 800.000 orang yang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Artinya, tiap 40 detik ada satu kematian yang diakibatkan oleh kasus bunuh diri (WHO, 2016). 

Data dari International for Health Metrics and Evaluation menunjukkan tingkat kasus kematian karena bunuh diri di Indonesia pada rentang waktu 2015-2017 berjumlah 8,09 orang dalam 100.000 penduduk (IHME, 2019). 

Informasi mengenai kasus bunuh diri yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2015 menunjukkan Jawa Tengah sebagai provinsi dengan kasus bunuh diri tertinggi di Indonesia dengan 331 kasus (BPS, 2016).  

Data tersebut patut menjadi alarm bagi seluruh pemangku kepentingan untuk merumuskan kegiatan/program yang dapat memberikan edukasi ke masyarakat awam terkait deteksi dini problem kejiwaan dan risiko bunuh diri.

Pada beberapa kasus depresi yang penulis tangani, klien yang memiliki ide bunuh diri selalu berpikiran buruk mengenai masa depannya. Mereka berusaha melukai diri dengan beragam alat. Beberapa ada yang terluka, tetapi juga ada yang gagal. Ada kesamaan menarik pada kasus mereka yang gagal melukai diri. 

Mereka sama-sama disadarkan oleh kehadiran orang lain yang memanggil namanya. Ada yang ditelepon oleh temannya dan ada juga yang diajak oleh temannya untuk jalan bersama. Seketika itu muncul kesadaran bahwa kehadiran mereka masih dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dibutuhkan dan dipercaya menjadi penting sekali untuk mengurangi ide bunuh diri pada orang yang depresif.

Proses munculnya gangguan kejiwaan dapat dianalogikan seperti balon yang meletus. Udara yang pelan-pelan mengisi ruang di dalam balon seperti stres yang tidak diselesaikan. Jika masalah dibiarkan berlarut, suatu saat akan tiba pada titik jenuhnya. 

Bila demikian, hal sepele pun dapat memicu gangguan psikologi. Balon yang sudah dipenuhi udara dan mengembang terlalu besar, disentuh sedikit dengan jari pun akan meletus. Problem emosi yang mencapai titik jenuh berisiko tinggi menjadi pemicu gangguan kejiwaan dan meningkatkan risiko bunuh diri. Bunuh diri dapat dicegah salah satunya lewat deteksi dini dan kepekaan untuk mengenali perubahan emosi dan perilaku orang di sekitar kita.

Deteksi Dini Risiko Bunuh Diri

            Ada beberapa gejala yang dapat dideteksi oleh awam terkait risiko bunuh diri (APA, 2019). Gejala-gejala tersebut adalah:

  • Berbicara mengenai ide bunuh diri
  • Punya masalah dalam pola makan dan tidur
  • Menunjukkan perubahan perilaku yang drastis
  • Menarik diri dari aktivitas sosial
  • Hilang minat untuk sekolah, bekerja, dan melakukan hobi
  • Ada indikasi menyiapkan surat wasiat
  • Pernah ada percobaan bunuh diri sebelumnya
  • Menyerahkan kepemilikan barang-barang berharga ke orang lain
  • Sering melakukan perilaku berisiko yang sebenarnya tidak perlu
  • Pernah kehilangan sesuatu yang amat dicintai (orang/hewan peliharaan/barang)
  • Terobsesi pada kematian dan rasa sakit
  • Kehilangan minat untuk merawat diri, dan
  • Penggunaan alkohol dan narkotika yang meningkat

Bila Anda menemukan satu atau lebih dari gejala tersebut pada orang terdekat, segera lakukan dukungan psikologis awal dengan prinsip 3 L (Look, Listen, Link). Cermati kondisinya (look), dengarkan masalahnya (listen), dan rujuklah kepada profesional (psikolog/psikiater) bila dibutuhkan (link). 

Lakukan mulai dari diri sendiri dan orang terdekat kita. Ancaman kesehatan mental itu nyata. Mari bersama kita hilangkan stigma terhadap problem kesehatan mental. Salam sehat jiwa. 

 

Referensi
APA. (2019). Suicide warning signs. Diambil 10 Oktober 2019, dari Https://www.apa.org website: https://www.apa.org/topics/suicide/signs

BPS. (2016). Di Provinsi Mana Banyak Orang Bunuh Diri? | Databoks. Diambil 23 September 2019, dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/12/22/jawa-tengah-provinsi-dengan-kasus-bunuh-diri-terbanyak-di-indonesia

CNN Indonesia. (2019). Mahasiswa S2 ITB Gantung Diri, Diduga Karena Depresi. Diambil 2 Oktober 2019, dari Nasional website: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190904153102-20-427484/mahasiswa-s2-itb-gantung-diri-diduga-karena-depresi

Halo Dokter. (2019). Gara-Gara Skripsi, Mahasiswa Unpad Bunuh Diri---Dokter Sehat. Diambil 2 Oktober 2019, dari https://doktersehat.com/gara-gara-skripsi-bunuh-diri/

IHME. (2019, Februari 7). Global, regional, and national burden of suicide mortality 1990 to 2016: Systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016. Diambil 23 September 2019, dari Institute for Health Metrics and Evaluation website: http://www.healthdata.org/research-article/global-regional-and-national-burden-suicide-mortality-1990-2016-systematic-analysis

Lumongga, D. N. (2016). Depresi: Tinjauan Psikologis. Kencana.

WHO, W. (2016). WHO | Suicide data. Diambil 23 September 2019, dari WHO website: http://www.who.int/mental_health/prevention/suicide/suicideprevent/en/

Wilkinson, P., Kelvin, R., Roberts, C., Dubicka, B., & Goodyer, I. (2011). Clinical and psychosocial predictors of suicide attempts and nonsuicidal self-injury in the Adolescent Depression Antidepressants and Psychotherapy Trial (ADAPT). American journal of psychiatry, 168(5), 495--501.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun