Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menyoal Hak Pilih ODGJ dalam Pemilu

5 Desember 2018   14:53 Diperbarui: 5 Desember 2018   14:59 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://galuhyulia.wordpress.com/2017/11/02/poster-bebas-pasung/

Apakah Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) layak diberikan hak pilih dalam Pemilu? Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakomodasi hak penyandang disabilitas fisik dan mental dalam pemilu, termasuk ODGJ. 

KPU menuangkan kebijakan ini dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 tahun 2018. Beberapa pihak menilai peraturan itu rentan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menambah suara pemilih, sementara pihak yang lain menganggap bagaimana mungkin ODGJ berpartisipasi dalam Pemilu. Bahkan akun Twitter KPU Pusat menjadi sasaran pertanyaan terkait kepantasan ODGJ dimasukkan dalam data pemilih tetap Pemilu 2019.

Salah satu twit yang ditujukan kepada KPU (Sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Salah satu twit yang ditujukan kepada KPU (Sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Isu ini bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional yang diperingati tiap tanggal 3 Desember. Merujuk pada Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Ganguan Jiwa III (PPDGJ III), seseorang dapat diidentifikasi sebagai ODGJ bila memiliki gejala perilaku dan psikologis yang bermakna, mengalami perasaan tidak nyaman akibat gejala tersebut, dan mengalami disabilitas untuk melakukan aktivitas rutin (seperti rawat diri, makan, tidur, dan lain-lain). Lewat konsep tersebut, ODGJ termasuk dalam kategori individu dengan disabilitas mental yang memiliki hambatan untuk melaksanakan kegiatan hariannya.

Terlepas dari kepentingan politik dalam pro kontra PKPU tersebut, penulis ingin menyoroti masalah yang lebih mendasar terkait persepsi masyarakat terhadap ODGJ. Selama ini ODGJ lekat dengan istilah, maaf, gila. ODGJ pun dianggap sebagai beban masyarakat dan tidak dapat memberikan kontribusi apapun untuk keluarganya. 

Jamak kita temui ODGJ mendapat diskriminasi di masyarakat. Mulai dari diejek, dilempari, hingga dipasung atau dirantai. Di beberapa daerah, ODGJ dianggap sebagai pembawa sial dan harus dikucilkan dari wilayah tersebut.  Benarkah ODGJ sedemikian buruk hingga mereka layak dapat stigma dari orang lain?

 Tentu saja jawabannya tidak. ODGJ adalah individu dengan masalah kesehatan mental. Tidak ada yang membedakan mereka dengan manusia lainnya kecuali respons mereka terhadap masalah. Undang-undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mendefinisikan ODGJ sebagai orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. 

Dalam bahasa yang lebih sederhana, ODGJ adalah seseorang yang memiliki masalah mental dalam taraf berat dan tidak mampu menjalankan fungsi kehidupan sehari-hari, seperti peran di keluarga, pendidikan/pekerjaan, dan masyarakat.

Orang awam menganggap ODGJ sebagai orang-orang yang telantar di jalanan, tidak berpakaian, dan sering berbicara sendiri. Akibat stigma seperti itu, ODGJ dianggap berbahaya dan harus dipisahkan dari orang yang "waras". Mayoritas ODGJ yang berada di jalanan mengalami salah satu jenis gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia hebefrenik/terdisorganisasi. Gejala utama gangguan ini adalah emosi dan perilaku yang tidak wajar (tertawa sendiri, berbicara tidak jelas, berjalan tanpa tujuan), munculnya halusinasi, dan gangguan penilaian terhadap realita, Mereka tidak berbahaya, kecuali bila Anda mengganggu mereka.

Selain ODGJ yang berada di jalanan, ada banyak ODGJ dengan penampilan rapi dan tidak terlihat berbeda dengan orang lain.  Bila Anda pernah menonton film A Beautiful Mind (2001), tentunya Anda tahu bahwa kisah itu diangkat dari perjuangan ilmuwan matematika bernama John Nash untuk pulih dari gangguan jiwa berat. Nash mampu mencetuskan teori permainan yang diganjar hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1994. 

John Nash didiagnosis mengalami skizofrenia paranoid, yaitu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gejala utama pikiran paranoid atau kecurigaan berlebihan terhadap sesuatu tanpa alasan yang jelas. Skizofrenia paranoid tidak hilang seumur hidupnya, tetapi dapat dikontrol dengan bantuan obat dan dukungan dari istrinya. Dua hal tersebut adalah kunci untuk pemulihan kondisi ODGJ.

Usaha Menghapus Stigma terhadap ODGJ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun