Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Deteksi Dini Radikalisme, Mungkinkah?

17 Mei 2018   15:05 Diperbarui: 18 Mei 2018   13:25 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: JawaPos.com

Usia remaja akhir (kisaran 16-17 tahun) adalah fase yang rentan untuk disusupi dengan ide-ide radikal. Pada usia tersebut, tugas perkembangan seseorang adalah pencarian identitas. Gunakan prinsip look, listen, and link. Selalu perhatikan perubahan perilaku orang terdekat kita, dengarkan mereka, dan bila kita tak mampu menyelesaikan masalahnya, cari bantuan/orang lain yang dapat membantu.

Ingat bahwa aksi teror ini tidak muncul dalam sekejap. Sebelum seseorang mewujudkan ideologinya dengan teror, ia akan melewati setidaknya dua fase pendahulu. Fase pertama adalah fanatik. Dalam konteks ideologi, fase ini disebut dengan fanatisme; yaitu keyakinan berlebihan terhadap suatu ajaran, ideologi, atau sosok tertentu. Masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) adalah wilayah paling rawan bagi benih fanatisme. Seseorang yang terlanjur fanatik tidak akan mampu lagi melihat secara jernih terhadap apa yang ia yakini. Jadi tidak ada yang bisa menyalahkan keyakinannya.

Fase kedua adalah radikal. Ideologinya adalah radikalisme, yaitu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial politik budaya melalui cara kekerasan atau drastis. Tidak ada kata kompromi dalam benak seseorang yang radikal. Jika ide mereka tidak bisa diterima, maka kekerasan adalah jalannya.

Puncak dari semuanya adalah terorisme. Penganut istilah yang populer semenjak tragedi 9/11 ini bertujuan menciptakan ketakutan massal dalam masyarakat. Oleh karena itu, sasaran teror selalu berada dalam dua pilihan: tokoh publik atau ruang publik (atau keduanya bila memungkinkan). Tugas mengurangi tiga isme ini (fanatik, radikal, dan teror) bukan hanya kewajiban pemerintah. Seluruh elemen masyarakat harus ambil bagian. Sebagai psikolog klinis, saya memilih edukasi melalui tulisan. 

Mengurangi terorisme harus diawali dari fase fanatisme. Orang-orang yang mudah terindoktrinasi adalah mereka yang terlalu fanatik atau mereka yang terlalu bingung untuk menentukan pilihan. Tidak heran bila sasaran utama regenerasi pelaku teror adalah siswa, mahasiswa, dan pemuda yang mayoritas belum punya prinsip hidup yang kokoh.

Kenali perubahan sikap orang terdekat kita. Bagi mahasiswa, terutama mahasiswa baru, bentengi diri dengan pengetahuan sosial dan agama yang mumpuni. Latih diri untuk berani mengatakan tidak pada gagasan yang bertentangan dengan nurani. Perbedaan bukan jalan bagi kita untuk saling membenci. Perbedaan adalah keniscayaan, hadiah dari Tuhan agar manusia saling mengenal, mengasihi, dan mencintai.

Saya turut berduka cita terhadap para korban dan mendoakan semoga keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan. Semoga tidak ada lagi aksi keji pelaku teror di Indonesia, rumah kita bersama.

---

Sumber bacaan:

Eidelson, R.J & J.I Eidelson. (2003). Dangerous Ideas: Five Beliefs That Propel Groups Toward Conflict. Americal Psychological Association, vol 58, No. 3, 182-192.

Sarwono, S.W. (2006). Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun