Mohon tunggu...
Yudi Kresnasurya
Yudi Kresnasurya Mohon Tunggu... Lainnya - PRIBADI BIASA

BERSYUKURLAH MAKA ENGKAU BAHAGIA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Siapa Menang di Laut Natuna Utara?

13 Januari 2020   14:34 Diperbarui: 13 Januari 2020   14:33 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi Indonesia Laut Natuna Utara sampai sejauh 200 mil laut masih merupakan milik Indonesia. Klaim Indonesia akan wilayah perairan tersebut dikuatkan dengan putusan dari UNCLOS. Indonesia tidak akan pernah tawar menawar lagi dalam mempertahankan kedaulatannya tersebut.

Namun ternyata Cina menganggap wilayah Laut Natuna Utara tersebut masuk ke dalam wilayah mereka. Klaim tersebut berdasarkan 9 garis putus -- putus (Nine Dash Line) yang menurut Cina sudah dipetakan sejak zaman Dinasti Ming. Sembilan garis putus -- putus tersebut selain mengambil wilayah Indonesia di perairan Natuna Utara, juga mengambil wilayah perairan dari negara lain seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina di Laut Cina Selatan. Hal ini membuat wilayah di Laut Natuna Utara, serta di Laut Cina Selatan secara umum selalu terjadi konflik antar negara.

Kasus -- kasus kewilayahan yang sering menimbulkan konflik di Laut Cina Selatan memang masih ada. Contoh kasus yang sangat panas adalah perebutan wilayah kepulauan Spratly. Kepulauan Spratly diklaim oleh banyak negara seperti Filipina, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Cina. Kepulauan ini selain mempunyai posisi yang strategis juga mempunyai potensi kekayaan alam yang melimpah khususnya migas. Indonesia tidak terlibat konflik di wilayah Kepulauan Spratly.

Kini konflik merembet ke Perairan Laut Natuna Utara dimana Indonesia akhirnya harus ikut berkonflik. Hal ini terjadi akibat kapal -- kapal ikan Cina menangkap ikan di Laut Natuna Utara dengan dijaga oleh Kapal Pengawas Cina. Kejadian ini tentu membuat Bangsa dan Pemerintah Indonesia terusik. Sebagai Bangsa yang berdaulat dan bermartabat, Indonesia tentu marah wilayah yang dimilikinya dimasuki oleh kapal -- kapal negara lain yang menjarah kekayaan laut Indonesia.

Pemerintah Indonesia sedari dini sudah mengirimkan protes ke Pemerintah Cina agar mereka segera keluar dari wilayah Indonesia. Namun reaksi dari Pemerintah Cina adalah mereka menganggap wilayah tersebut bagian dari wilayah Cina dengan berbasis peta sembilan garis putus (Nine Dash Line). Cina memang ikut dalam UNCLOS, namun untuk wilayah Laut Natuna Utara dan Laut Cina Selatan mereka tidak mau mengikuti ketetapan yang sudah dibuat UNCLOS.

Tak lama kemudian Presiden Joko Widodo berkunjung ke Natuna. Kunjungan ini memang memakai wacana pemberian sertifikat tanah bagi warga Natuna, namun jelas kedatangan orang nomor satu di Indonesia memberikan sinyal yang tegas kepada Cina untuk segera keluar dari Laut Natuna Utara. Memang setelah itu kapal -- kapal ikan Cina beserta kapal pengawal milik Cina terlihat meninggalkan Perairan Natuna, namun beberapa hari kemudian ada kabar yang mengatakan mereka datang lagi.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa Cina seakan tidak peduli dengan protes Indonesia. Mereka mengerahkan kapal -- kapal ikan untuk menjaring ikan sebanyak mungkin di wilayah Laut Natuna Utara yang mereka klaim masih wilayah mereka. Hal ini tentu membuat Indonesia bertambah geram dan berupaya semaksimal mungkin mengusir kapal -- kapal ikan Cina dari wilayah itu.

Di sini memang terjadi pertentangan yang sangat kentara antara Indonesia dengan Cina. Konflik yang timbul memang bisa semakin memanas apalagi kapal -- kapal ikan Cina mulai memprovokasi. Harapan kepada para tentara Indonesia yang turun membantu mempertahankan kedaulatan adalah agar jangan sampai terpancing provokasi yang dilakukan oleh kapal -- kapal ikan Cina.

Solusi yang mungkin bisa diajukan untuk membantu para tentara Indonesia menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara adalah dengan menghadirkan para nelayan Indonesia untuk mengekploitasi di laut tersebut. Selama ini di Laut Natuna Utara memang jarang ditemui para nelayan Indonesia yang menangkap ikan di sana. Kendala yang ada adalah para nelayan Indonesia khususnya nelayan Natuna sendiri belum memiliki armada kapal serta perlengkapan yang memadai untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Rata -- rata kapal ikan milik nelayan Natuna hanya berkapasitas antara 0,5 GT -- 30 GT sehingga jarak tempuh pemanfaatan ikan oleh Nelayan Natuna tidak bisa. Sedangkan kapal -- kapal ikan asing mempunyai kapasitas ratusan bahkan sampai ribuan GT beserta fasiltas yang modern sehingga mudah bagi mereka berlayar sampai ke Laut Natuna Utara.

Perlunya menghadirkan nelayan dari Jawa, Sumatera bahkan sampai Sulawesi yang memiliki armada penangkapan ikan lebih besar dan lengkap di Laut Natuna Utara adalah solusi yang baik. Laut Natuna Utara mempunyai potensi perikanan yang besar sehingga perlu dikelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Hadirnya para nelayan Indonesia bukan saja dapat memanfaatkan kekayaan laut tetapi sekaligus menjaga halaman depan Indonesia dari bangsa lain.

Belajar dari kasus lepasnya Sipadan dan Ligitan dari Indonesia, disebabkan pemanfaatan dan pengelolaannya lebih banyak oleh bangsa lain. Peristiwa tersebut seharusnya menjadi pelajaran yang sangat berharga sehingga Indonesia tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kasus Sipadan dan Ligitan bisa saja terjadi lagi di Laut Natuna Utara, dimana wilayah perairan ini jarang dikelola dan dimanfaatkan oleh nelayan Indonesia tetapi malah lebih banyak nelayan asing yang melakukan pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun