Pagi Bandung,Â
cerahmu sama seperti dulu. Sejukmu pun tak jauh beda. Yang beda cara melihat ceritanya. Dahulu menuliskan cerita senang, duka dan datar bersama, kini kita melukisnya sendiri-sendiri. Saat itu membikin cerita yang menyatu, kini ceritanya berserakan.Â
Di ujung pandang ku melewati jendela, ku lihat dua menara megah masjid itu. Sama-sama gagah,megah dan indahnya, tapi hanya mampu saling berhadapan, tanpa bisa saling merengkuh. Itu refleksi kita.Â
Dingin hawanya, semilir anginnya, dan hati ini masih sama hangatnya. Tapi entah yang di seberang sana, masihkah seperti dulu. Saat kita masih merenda cerita romansa. Saat aku masih menjadi bulan, diantara malammu yang bertebaran bintang yang sama terangnya. Eksotis tanpa cela.Â
Jalan-jalan di Braga masih merekam jejak kita. Tembok-tembok tua yang tak renta menyimpan berwarna-warnanya mata saat kita beradu pandang. Dan kerasnya bunyi degup jantung ku dan jantung mu yang sedang mencari nada agar seirama, menjadi tak hanya bunyi tapi lagu  asmara.Â
Dan mimpi-mimpi untuk menyeduh kopi bersama telah menjadi usang, usai yang dini sebelum sempat dimulai. Detakmu berhenti, detikku tertahan, dan berakhir.Â