Aku melukismu dengan mataku. Melihatmu seksama, lalu menuangkannya dalam kanvas memoriku. Satu demi satu detailmu menjadi padu. Tak lagi sketsa, tapi natural. Lukisan serupamu yang nyata di ujung mata. Ku cukupkan itu, ke hentikan disini, di pandangan mataku.Â
Sebenernya ingin ku melukismu utuh. Tapi tak mungkin, aku terlalu rapuh untuk merekammu dalam keseluruhanmu. Wajahmu saja membuatku lalai dunia, bagamana bila seluruhnya. Tak kuasa menahan ingin memiliki. Ini tak boleh.Â
Aku adalah pengagummu, bukan calon rajamu. Apapun tingkahmu, aku disini saja di antara luapan suka sukamu. Aku penunggu bulan terang di purnama kemarin, lusa dan entah untuk ke berapa purnama. Ku tunggui saja, hingga terbelahlah purnama.Â
Ku pastikan, tak mungkin ku melihat purnamamu saja, akan ku pandangi langit biru bermega mega yang terlalu manis tuk di lewatkan. Yang sama indahnya, sama juga memberi rindu. Meski purnamamu tetap berbeda indahnya.Â
Bagaimanapun aku tetap pengagummu, meski dalam diamku.Â