"A, maaf!"
"Maaf kenapa?"
"Aku titip si Ade, sebentar."
"Baik. Tapi, si Ade masih suka minum susu, gak?"
"Kasih saja air putih biasa, tapi dimasukin ke dalam dot."
Adikku pun pergi menuju rumah mertuanya. Bukan tanpa alasan mengapa ia tidak membawa anaknya menengok neneknya yang sedang sakit itu, karena ia tidak ingin ketika keluarga suaminya melihat Ridwan yang merupakan anak adikku kembali mengungkit keburukan masa lalu adikku bersama suaminya. Bahkan, adikku sering diperlakukan sebagai orang yang paling berdosa di dunia ini. Bagi mereka, adikku merupakan aib dan pembawa sial terbesarnya.
Namun, adikku rela menerima perlakuan buruk dari keluarga suaminya hanya karena ia tidak menginginkan bila anaknya menjadi korban perceraiannya. Sebenarnya aku pribadi sangat tidak setuju bila ia harus menanggung cacian dan hinaan dari mereka. Terlebih lagi, suaminya tak bisa berbuat apa-apa selain diam.
Setelah adikku pergi, aku pun menengok keponakanku yang masih tertidur pulas di dalam kamarku.
"Duh, imut banget," kataku sembari mencium pipinya. "Ridwan, kapan aku nikah dan punya anak selucu kamu, ya?" Tanyaku melanjutkan.
Tiba-tiba saja Ridwan tersenyum dalam tidurnya yang masih terjaga.
"Hemmm..." Ridwan sedikit bergumam.