Era Pandemi
Kita tidak sedang merdeka. Hal itu terlihat jelas di masa pandemi. Kebebasan fisik diregulasi untuk mencegah penularan wabah. Seluruh denyut kehidupan bergerak perlahan.
Tetapi di masa yang tidak mudah ini, taat dan patuh pada upaya menangkal paparan virus adalah kemewahan, sebuah bentuk dari sikap kepahlawanan.
Pertambahan korban jiwa di masa pagebluk, serta koyaknya pertahanan sistem kesehatan menunjukan betapa kita memerlukan sosok pahlawan lebih dari super hero imajinatif, bahkan tidak juga sekedar figur yang hadir melalui baliho-baliho dekoratif.
Perlu dibangkitkan konstruksi kepahlawanan kolektif secara bersama, bahwa penderitaan dan kecemasan yang kita hadapi saat ini adalah sebuah masa untuk menguatkan daya tahan kita berhadapan dengan kabut ketidakpastian secara sosial. Bekal di masa depan.
Hal itu selaras dengan konsep Viktor Frankl dalam Man's Search for Meaning, 1946, yang mengambil pelajaran penting dari kegetiran pengaklamannya selama menjadi tawanan dalam perang dunia kedua.
Hanya kecermelangan tujuan dan harapan yang akan menjadi pemandu bagi semangat menjalani kehidupan dalam berbagai drama suka-duka.
Karena itu pula, dibutuhkan kemampuan adaptif dalam situasi pelik. Tentu tidak semudah membalik tangan.
Dalam kebersamaan komunal, peran kepemimpinan -leadership menjadi bagian penting dalam membangkitkan harapan mencapai tujuan. Menjadi pemimpin bermakna.
Melalui sejarah hampir serupa, Ravando, Perang Melawan Influenza, Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919, 2021, kita membayangkan sosok serupa Dr Abdul Rivai, seorang bumiputera yang berbicara lantang di Dewan Rakyat -Volksraad tentang pentingnya kesigapan dan keseriusan pemerintah kolonial untuk mengatasi penularan dan paparan wabah bagi seluruh warga pribumi.
Di era pandemi, kepahlawanan harus dibangun dengan basis pengetahuan dan informasi yang jujur, terbuka, utuh serta akurat dalam format dialogis.