Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pandemi, Media, dan Kecemasan Sosial

27 Juni 2021   20:46 Diperbarui: 27 Juni 2021   21:52 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Mencekam! Ruangan unit gawat darurat di sekitar Ibukota penuh sesak. Sebagian terpaksa ditangani hingga ke pelataran. Lonjakan pasien terjadi, dokumentasi foto dan pemberitaan beredar hampir sepekan belakangan.

Sentra vaksinasi yang sempat surut peminat, kini kembali berjubel. Publik khawatir, sekaligus menjadi termotivasi untuk mulai melakukan perlindungan diri. Berita duka cita datang bertubi-tubi dari kawan terdekat.

Pandemi memang menghadirkan kebingungan. Keterbatasan pengetahuan untuk menjelaskan persoalan wabah, menyebabkan kita berada dalam kegelapan. Penuh ketidakpastian, kapan kiranya wabah segera berlalu?

Publik tampak dalam situasi ketakutan, tetapi tidak kurang sebagian diantaranya tetap menyangkal keberadaan wabah. Diantaranya menyebut wabah dan vaksin adalah paket bundling yang sudah direncanakan.

Teori konspirasi mendapatkan tempat di hati peminatnya. Belum utuhnya pengetahuan guna menjelaskan wabah, membuat asumsi persoalan pandemi berada di pangkal persengkongkolan elit global.

Sebagian mengakui keberadaan wabah, meski juga menolak atas dampak yang timbul karena dianggap terlalu over expose alias berlebihan. Media menjadi sarana penyebar kecemasan, menjual ketakutan -fear mongering.

Celakanya, media sosial menjadi arus utama kanal informasi publik. Di dunia digital terjadi ketercampuran antara informasi terverifikasi dan informasi yang tidak dikurasi, dan memang bisa jadi ditujukan untuk menciptakan bias interpretasi.

Situasi ini dikenal pula sebagai kondisi infodemi, dimana terjadi banjir informasi yang berbalut kesalahan, kekeliruan bahkan kebohongan mengenai pandemi. Kebingungan merebak di tengah masyarakat.

Publik mengalami histeria. Fobia lantas menyebar secara luas. Terjadi kecemasan berlebih, sebagai hasil konstruksi dari berbagai interaksi sosial yang terbentuk melalui peran media.

Situasi ini pula yang diungkap Rolf Dobelli dalam Stop Membaca Berita, 2021, bahwa yang seharusnya dipahami oleh publik dalam membaca berita adalah membangun relevansi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Pemberitaan mengenai pandemi, seharusnya ditangkap tidak dalam nuansa kegelisahan, melainkan harus dimaknai sebagai kewaspadaan untuk tetap melaksanakan kehati-hatian serta disiplin dalam protokol kesehatan, guna mereduksi potensi penularan.

Dalam kajian Rolf, hal yang sepatutnya dibangun adalah kemampuan literasi publik dalam menyeleksi serta mencerna informasi. Bila kemudian hal itu menjadi bagian tersulit, maka saran Rolf sederhana, stop membaca berita.

Meski anjuran Rolf relatif hiperbolik, titik moderasi yang dapat dilakukan adalah diet konsumsi berita. Tidak tepat bila mengandaikan publik didikte oleh informasi dalam sebuah berita, karena sesungguhnya publik memiliki kemampuan untuk menentukan sikapnya secara bebas.

Media memiliki tugas untuk menyampaikan fakta yang akurat, berdasarkan etika jurnalistik, berpegang pada kebenaran, dengan itu media mainstream memiliki keunggulan dibandingkan media sosial yang mengakomodasi sifat anonim.

Sekali lagi peran media adalah mencerahkan publik, karena itu bijak dalam memilih sumber media menjadi pijakan awal, sebelum mencerna isi berita yang disampaikan. 

Pilih dan pilah media berkualitas merupakan bagian dari kecerdasan bermedia. Selebihnya akan bergantung pada kemampuan atas rasionalitas publik untuk mengurai serta memahami isi berita. 

Meningkatkan literasi publik menjadi lebih bijak dibanding anjuran untuk stop membaca berita. Ketakutan tidak bisa dihadapi dengan mata terpejam, justru membutuhkan mata yang terbuka untuk melihat semua kemungkinan tersisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun