Pilihan kata itu kemudian melekat pada sosok individu ataupun kelompok yang berada diluar struktur kekuasaan, namun memiliki daya cengkram ke tingkat masyarakat melalui kekuatan represi fisik secara langsung.
Sesuai penelitian Wilson, babak pergulatan tripartit antara negara, publik dengan aktor kekerasan non negara sebagaimana para preman ini disebut, dikaji secara dinamis dalam kehidupan sosial.
Wilayah risetnya adalah Ibukota Jakarta yang menjadi magnet utama serta representasi pola interaksi kehidupan perkotaan di tingkat nasional. Sebuah kota yang menjadi percampuran banyak hal.
Dalam telaah politik, kehadiran aktor kekerasan non negara merupakan bentuk kegagalan dari proses konsolidasi aparatus represif negara secara mutlak. Hal itu mengakibatkan terbentuknya fungsi kekerasan swasta.
Elemen radikal bebas ini hidup dalam atmosfer kekosongan peran negara untuk memberikan jangkauan perlindungan secara menyeluruh. Lebih dari itu, juga terjadi simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan antara keduanya.
Kelompok preman ini menawarkan rasa bebas dari gangguan, memberikan ruang jaminan dan kepastian keamanan, sebagai celah atas luputnya kemampuan negara untuk hadir di tengah publik.
Maka titik tolak Wilson mencoba melihat konstruksi peran para preman dan kumpulannya pada dua momentum besar, yakni (i) era konsolidasi kekuatan Orde Baru, (ii) era reformasi dan kejatuhan Orde Baru.
Tarik Ulur Relasi
Abu-abu. Ruang keterhubungan antara para preman dan pemangku kuasa terjalin secara samar, tidak bersifat langsung, bukan garis komando, bahkan sangat cair secara situasional.
Momentum puncak dari kekuatan Orde Baru berhadapan dengan para preman dikenal sebagai operasi Petrus -penembakan misterius di sekitar 1980-an. Kala itu tato menjadi identifikasi simbolik pada kelompok kriminal ini.
Para preman dan gerombolannya, dalam perspektif pembangunan adalah kelompok tersisih yang tidak menikmati dampak keberhasilan pembangunan.Â