Polarisasi, berita bohong dan industri buzzer menandai sebuah babak baru dari model dan teknik usang propaganda politik.
Rumus bakunya, kekuasaan membutuhkan alat legitimasi, dan dunia digital dengan segala kompleksitasnya memungkinkan untuk mengakomodasi kepentingan tersebut.
Ditingkatkan mikro kriminalitas digital marak, sementara itu pada level makro terbentuk rezim pengawasan digital yang ketat baik dalam cakupan negara maupun para perusahaan teknologi yang menjadi penyedia platform.
Kita harus memahami, bahwa ada hal-hal yang menyertai kemajuan dan perkembangan digital, lebih dari sekedar bisnis startup berstatus unicorn dengan segala dampaknya, termasuk mengawasi gerak-gerik kehidupan rutin kita.
Pun pada persoalan dan urusan yang terkait isu politik. Manipulasi opini publik mampu terjadi melalui peran teknologi digital dan media sosial, persis dituangkan Agus Sudibyo dalam Tarung Digital, 2021, yang disebut sebagai propaganda komputasional.
Peristiwa kemenangan politik Trump 2016, dan pada saat yang hampir bersamaan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa yang dikenal sebagai Brexit menjadi momentum reflektif atas dampak buruk dari pola propaganda digital.
Di tanah air kita bertemu dengan sengitnya kontestasi politik pada Pemilu 2019, dampaknya adalah pengelompokan sosial yang rentan serta berpotensi terjadinya konflik horizontal, sebuah situasi yang dimainkan oleh para aktor politik.
Kita tengah berada di sebuah masa yang disebut dalam Oxford Dictionaries 2016 sebagai Post Truth, ketika batas kebohongan dan kebenaran bercampur-baur dan kita kehilangan kemampuan untuk melihat realitas kebenaran sebagaimana adanya. Fakta tidak lagi menjadi relevan.
Kini satu yang dibutuhkan adalah kesadaran kolaboratif untuk keluar dari jebakan lubang tidak berujung dunia digital. Menjadi tanggung jawab bersama. Big power, big money, big responsibility.