Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Langkah Peradaban Digital

2 Maret 2021   08:04 Diperbarui: 2 Maret 2021   08:12 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia digital membawa perilaku baru, termasuk ketidakberadabannya. Hal itu diketahui dari pengakuan 5 dari 10 responden menyatakan pernah terlibat dalam perundungan -bullying. Kehidupan digital, turut serta membawa dampak-dampak buruk secara bersamaan.

Kondisi ini pula yang dipotret Jaron Lanier, Ilusi Media Sosial, Sepuluh Argumen tentang Paradoks Medsos, 2019. Secara konseptual, Jaron mengingatkan kehidupan digital melalui media sosial, mengandung ancaman laten dan manifest atas otonomi dan kebebasan manusia.

Ruang digital yang terlihat bebas, sesungguhnya mengurung manusia dalam perangkap manipulasi sekaligus hidup pada konstruksi yang dibentuk oleh algoritma kecerdasan buatan. Distorsi terjadi tanpa disadari dan manusia semakin terdikte.

UU ITE dan Buzzer

Dalam ranah lokal, polarisasi politik juga terjadi seiring dengan interaksi pada media sosial. Tidak hanya itu, media sosial juga menjadi sarana dalam memainkan isu-isu politik, termasuk di periode menjelang kontestasi politik.

Peradaban digital harus tegak. Sebagaimana sebuah peradaban yang identik pada gagasan mengenai kompleksitas kemajuan sosial yang mengedepankan rasionalitas, dibarengi dengan moralitas dan etika. Disitulah prasyarat kehidupan bersama dimulai.

Momentum abad ini, kita mengenal pula istilah pasca kebenaran -post truth. Sebuah kondisi yang menggambarkan kaburnya batas realitas, disertai dengan ketidakmampuan untuk menangkap kebenaran yang telah bercampur dengan berbagai kepalsuan.

Dunia digital dan media sosial memungkinkan hal itu, bersamaan dengan terbukanya ruang privat hingga bersalin rupa melalui anonimitas. Arus deras teknologi digital, tidak mampu dibendung dengan bekal literasi yang minimal.

Saat ini media sosial menjadi medium bagi para aktor yang berkepentingan secara sosial politik. Kita mengenal istilah para pemberi pengaruh -influencer hingga pendengung -buzzer telah menjadi sebuah bidang pekerjaan baru. Dalam konteks lokal maknanya terdegradasi secara peyoratif menjadi pendukung status quo.

Bahkan Jusuf Kalla dalam sebuah wawancara (Detik, 26/2) mengatakan bila instrumen politik di media sosial sebagaimana buzzer berubah menjadi sumber kekacauan, menutup ruang kritik dengan mekanisme cyber bullying.

Berbagai kejadian saling lapor terkait posting di media sosial pun makin marak. Hal yang terakhir ini direspon dengan rencana perubahan UU ITE, akibat penerjemahan pasal-pasal multitafsir (Kompas, 16/2). Turunan implementasinya disikapi dengan bentuk polisi virtual.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun