Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mahasiswa dan Memorialisasi Sejarah yang Tercecer

27 September 2020   09:30 Diperbarui: 29 September 2020   16:28 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Pelupa. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang mudah lupa dan melupakan. Dibutuhkan tidak hanya kemampuan untuk mengingat, melainkan juga kemauan untuk kembali membangkitkan memori atas apa yang telah terjadi di masa silam. 

Di situlah terdapat peran sejarah, dalam merekonstruksi berbagai peristiwa lampau, agar kita mampu merawat ingatan dan belajar dari apa yang telah terjadi.

Pun demikian proses demokratisasi, dalam periode yang dikenal sebagai babak reformasi. Rangkaian momentum sejarahnya, merentang secara berkesinambungan. Keruntuhan fase diktator Orde Baru, ditandai dengan kebangkitan gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil untuk melakukan agenda perubahan. Rentetan peristiwa, termasuk tragedi Trisakti, Semanggi I dan II mewarnai babak sejarah itu.

Setiap tahun di bulan September, kenangan itu dibangkitkan kembali melalui peringatan tertembaknya aktivis mahasiswa UI Yap Yun Hap pada peristiwa Semanggi II. 

Konteks kejadian saat itu bersamaan dengan penolakan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya -PKB. Melintasi kembali waktu yang telah lebih dari dua dekade berlalu tidaklah mudah. Terlebih saat itu, gerakan mahasiswa terfragmentasi.

Pasca lengsernya Suharto, mahasiswa kedodoran menyelaraskan agenda reformasi. Terbelah, sebagian kembali ke pertapaan di kampus, sementara sebagian lainnya konsisten untuk mengawal proses reformasi. Sebagian kelompok mahasiswa yang disebut terakhir adalah elemen marjinal, bahkan di dalam kampus, karena mayoritas mahasiswa kembali berkutat pada agenda rutin perkuliahan.

Penulis mencoba mengingat, gelora kelompok diskusi terkonsentrasi dalam kelompok kecil mahasiswa yang berada diluar organisasi formal kampus. Mereka tidak berhimpun dalam Ikatan Mahasiswa tingkat Jurusan, atau Senat Mahasiswa di level Fakultas, hingga Badan Eksekutif Mahasiswa di kancah Universitas. Kelompok kecil aktivis mahasiswa ini, memiliki peminatan diskusi dan bahan bacaan.

Kemampuan adaptif mereka, dalam merespon dinamika isu sosial politik lebih lincah dan dinamis. Bergerak lebih gesit, dibandingkan lembaga kemahasiswaan formal, yang terbilang lamban dan kembali cenderung apolitis pada isu sosial politik pasca momentum reformasi. Termasuk penyikapan RUU PKB, yang ditengarai memungkinkan potensi kembalinya Dwifungsi ABRI dan corak militerisme.

Mahasiswa dalam panggung sejarah pergerakan bangsa selalu menjadi bandul perubahan, yang mengakselerasi terbukanya episode baru dari babak kekuasaan. Setelah itu, bandul itu kembali berhenti ke titik dasar. Mahasiswa, menurut Ariel Heryanto, kerap dianggap maha sia-sia, karena kelak setelah lulus kuliah mereka akan menjadi bagian yang ditarik masuk dalam pusaran kekuasaan itu sendiri.

Semanggi II dan Upaya Merajut Sejarah

Mengenang peristiwa tragedi Semanggi II, tentu tidak hanya menyoal kematian Yap Yun Hap semata. Melainkan tentang proses demokratisasi yang terancam masuk ke dalam perangkap kekuasaan, dengan pendekatan militeristik, sebagai corak otoritarianisme. Yap Yun Hap menjelma menjadi ikon, karena keberanian dalam mengorbankan nyawa, untuk sesuatu yang diyakini benar dan bagi kebaikan publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun