Strategi Komunikasi
Jika menggunakan model yang disusun Boston Consulting Group, maka upaya keluar dari problematika pandemi akan sangat terkait dengan pengendalian kasus -flatten, mengatasi dampak -fight dan menyusun peta jalan masa depan -future. Semuanya saling terkait.
Realitas dari rilis BPS mengindikasikan faktor psikologis publik yang berada dalam kecemasan, akan dampak suram penurunan size ekonomi. Dengan mendasarkan diri atas tuntutan fisik pemenuhan kebutuhan hidup, publik tampil menghalau rasa takut -fear. Padahal ada ruang bahaya -danger, dari aktifitas dan interaksi sosial yang memungkinkan terjadinya penularan.
Menariknya, hal ini selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan platform Lapor Covid-19 bersama dengan Nanyang Technological University (NTU) pada periode Juni lalu, berkaitan dengan tema persepsi risiko. Dinyatakan bahwa publik bersikap ambigu atas resiko pandemi, kontributornya disebabkan informasi keliru yang diterima. Paparan informasi yang terkonstruksi salah dan beredar secara luas, membuat tingkat persepsi risiko publik rendah.
Komunikasi dan edukasi belum efektif terjadi, hal tersebut membuat publik menganggap wabah Covid-19 sebagai hal biasa, terdistorsi pada kepentingan ekonomi yang bersifat langsung. Disisi lain, pemangku kebijakan tidak kunjung mampu menyusun formula rigid sebagai strategi jangka panjang berhadapan dengan pandemi.
Kondisi yang tidak menentu dan tidak diketahui kapan akan berakhir, memang menciptakan kecemasan. Tetapi upaya membuat ilusi seolah wabah adalah hal remeh yang akan hilang dengan sendirinya, juga jelas menjadi sebuah kesalahan. Bencana terjadi, bila publik justru mempercayai hal yang keliru, sekaligus menolak kebenaran.
Padahal, wabah pandemi kali ini akan bisa dikalahkan, bila dapat mempergunakan seluruh kekuatan publik sebagai modal sosial dengan membangun relasi yang dapat saling dipercaya. Karena itu, kutipan Tedros Adhanom menjadi penting untuk diingatkan, lakukan semua tindakan yang diperlukan secara bersama-sama. Do it all, and together.