Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kepemimpinan, Sense of Crisis, dan Reshuffle

29 Juni 2020   21:19 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:11 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Karena itu para pemimpin harus memiliki ketajaman dalam melihat masalah, mempergunakan data valid serta spesifik untuk menganalisis dampak, hingga membuat perencanaan strategi, termasuk memastikan eksekusi sekaligus evaluasi dinamis dari kerja yang dilakukan.

Menuju Reshuffle?

Pernyataan marah Presiden, bisa dipahami dalam dua sisi, (i) mendorong percepatan proses implementasi program yang telah disusun sebelumnya, atau (ii) menyatakan bahwa otorisasi tindakan telah terdelegasi kepada unit teknis di jajaran kementerian dalam kabinet.

Meski menyatakan Presiden mempertaruhkan seluruh reputasi politiknya, maka pandemi memang menjadi ajang pembuktian bagi kekuasaan untuk bekerja secara utuh bagi kepentingan publik dan tidak hanya menyoal mengenai aspek politik kekuasaan semata. 

Memastikan bahwa kerja pemerintah di periode keduanya, memang tidak memiliki beban, selain melayani kepentingan publik itu sendiri.

Lebih jauh lagi, kinerja dari tim kabinet sesungguhnya adalah representasi kerja Presiden, karena para menteri bertindak sebagai pembantu kepentingan kerja Presiden. 

Pembentukan kabinet adalah hak prerogatif Presiden, meski menempuh jalur kompromi dan akomodasi antara seluruh kekuatan politik, itulah wajah Presiden.

Apakah mekanisme punishment dengan menyebut opsi reshuffle akan dilakukan? Ataukah sebatas retorika untuk menyampaikan bahasa simbolik soal keseriusan kerja pemerintah? Apakah Presiden telah menghitung langkahnya dalam waktu dekat? Publik hanya bisa menebak, tetapi kekuasaan pula yang memutuskan.

Kita tentu memahami, dalam teori dramaturgi Erving Goffman tentang komunikasi politik tidak ubahnya drama, bak pementasan lakon watak pada panggung pertunjukan, dan pada kondisi tersebut, kita mengenal panggung depan -front stage sebagai hal-hal yang tampil ke permukaan penonton, tetapi ada ruang panggung belakang -back stage yang menjadi ruang gelap dari jangkauan perhatian para penonton, serta hanya dipahami oleh para aktor politik itu sendiri.

Hanya waktu yang akan menjawab sekaligus memperlihatkan keseriusan kerja pemerintah cum Presiden, yang mendapatkan legitimasi untuk mengurusi kebutuhan publik yang semakin pelik di masa pandemi. Kita menanti apa yang akan menjadi langkah selanjutnya.

Marah adalah sebuah pernyataan. Pemimpin yang selalu marah memiliki kelemahan dalam pengelolaan serta pengendalian diri. Disamping itu pemimpin yang tidak pernah marah, akan cenderung bersikap abai dan acuh pada kinerja yang buruk. 

Kali ini, kemarahan harus memiliki makna sebagai sebuah kebijakan, bila mampu dibingkai dalam konteks perubahan, menuju perbaikan setelahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun