Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menebak Mimpi TVRI di Tengah Konflik Dewas Vs Helmy Yahya

22 Januari 2020   12:40 Diperbarui: 24 Januari 2020   00:29 2768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung TVRI Senayan (Tribunnews/Lusius Genik)

Kisruh! Pemberhentian Helmy Yahya sebagai Direktur Utama Televisi Republik Indonesia (TVRI) berhadapan dengan perlawanan hukum. Kewenangan Dewan Pengawas dipersoalkan. Silang pendapat mengemuka. Ke mana mimpi lembaga penyiaran publik akan berlabuh?

Banyak soal yang dimajukan sebagai tesis, dari sengkarut masalah di TVRI. Transparansi dari biaya produksi program, tata kelola organisasi, hingga kepentingan publik yang dimaknai sebagai konsumen. Persoalan kelembagaan luput ditilik.

Membereskan TVRI bukan barang mudah. Sebagai stasiun televisi pertama, yang ditujukan bagi pergelaran Asian Games 1962, TVRI sempat dominan, melalui mekanisme monopoli. Ketika keran kompetisi televisi swasta terbuka, justru TVRI kelihatan semakin kedoroan.

Industri layar kaca, sebagai bagian dari bisnis media memang sedang menghadapi tantangan hebat di era disrupsi. Fenomena konvergensi media, karena kehadiran jejaring internet, melumpuhkan banyak media konvensional, termasuk televisi.

Banyak analisis, atas kondisi TVRI, di era pra maupun pasca Helmy menjabat. Dukungan karyawan TVRI dengan aksi spanduk hitam, seolah mengisyaratkan kemampuan sang Dirut Helmy, dalam melakukan langkah perbaikan internal perusahaan.

Sementara itu, pada berbagai dokumen yang beredar luas, terdapat beberapa kecurigaan, terkait dengan pengelolaan besaran anggaran TVRI. Termasuk pembiayaan bagi urusan produksi, yang dinilai berpotensi digelembungkan. 

Maklum saja, Dirut Helmy berlatar belakang sebagai "orang televisi", dan memang dikenal sebelumnya, memiliki program acara di televisi swasta. Jadi isu yang berhembus, dalam dokumen beredar, seolah menegaskan adanya konflik kepentingan tersebut. Jelas perlu pembuktian.

Menjalin Persatuan dan Kesatuan
Membayangkan TVRI, seolah membayangkan generasi si Unyil, Ria Jenaka, hingga Dunia Dalam Berita. Logo yang ikonik, dengan slogan "Menjalin Persatuan dan Kesatuan". Dalam ukuran kekinian, terlihat old fashion dan kurang update.

Secara keseluruhan, tampilan yang tidak maksimal mengakibatkan TVRI yang memiliki fungsi informasi, edukasi dan hiburan itu, semakin ditinggalkan stasiun televisi swasta. Dalam soal konten, TVRI jauh tertinggal. Padahal dalam soal infrastruktur jaringan, tidak ada yang bisa mengalahkan TVRI.

Dalam bahasa manajemen, produk yang dihasilkan TVRI menjadi tidak selaras dengan tuntutan pasar. Langkah modernisasi kemudian dilakukan Dirut Helmy. Tidak berhenti di situ, rebranding dan berbagai konten program diperbaiki. 

Problemnya, langkah tersebut tidak dibuat dengan mengoptimalisasi kapasitas dari sumberdaya yang dimiliki TVRI, melainkan dengan model instan, pembelian program. Kalkulasi ekonomi bisa dibuat. Sekurangnya, alasan yang akan ditampilkan berkisar pada persoalan efisiensi dan efektivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun