Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Komunikasi Meleset ala Kabinet Indonesia Maju

28 November 2019   23:22 Diperbarui: 29 November 2019   11:48 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Ini adalah rapat pertama yang digelar di era Jokowi-Maruf.| Sumber: Kompas.com/Ihsanuddin

Dalam politik, tidak ada yang kebetulan. Bahkan sebuah peristiwa yang nampak natural dan tanpa kesengajaan sekalipun, patut dilihat dalam kerangka setting terencana. 

Rentetan diskursus yang dimunculkan melalui para menteri sebagai pembantu tugas dan kerja-kerja bagi presiden, tampak bertalian dan bersusul-susulan. Sayangnya, tones dan intensinya seragam. 

Problemnya, redaksi yang dipergunakan bukan dipergunakan untuk memfokuskan diri pada kerangka percepatan pembangunan. Apa yang hendak ditunjukan melalui wacana publik, justru seolah berbalik arah.

Narasi besarnya masih sama sejak awal didengungkan saat pembentukan kabinet, dengan tema sentral radikalisme. Pada titik utama itu, kemudian entitas kabinet, mendekatinya dengan berbagai model pendekatan.

Pembentukan SKB Menteri yang melibatkan 6 kementerian dan 5 kepala lembaga, semakin menegaskan hal tersebut. Tajuk pokoknya adalah "Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara".

Sekali lagi, ketegasan pemerintah melalui penegasan ketetapan bersama tersebut, seolah menempatkan prioritas penanganan radikalisme menjadi solusi paripurna dari persoalan utama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. 

Terlihat terdapat urgensi kedaruratan dari penanganan permasalahan ini, sehingga perlu diterka kemana akhir muaranya.

Buntut Panjang Kontestasi Politik
Pada pemaknaan yang lebih mendalam, pemerintah hendak mendorong proses stabilisasi. Tidak berhenti dengan merangkul lawan politik, termasuk membangun koalisi gemuk dalam berbagi konsesi kue kekuasaan. 

Sekaligus berupaya mendapatkan legitimasi, untuk membungkam suara berbeda. Indikator utamanya, terlihat dari belum serempaknya definisi radikalisme yang diformulasikan secara rigid. Semua berpendapat berbeda soal ukuran tersebut.

Bila kemudian aturan itu diimplementasikan, maka kategorisasi radikalisme bisa sangat bergantung pada pikiran subjektif kekuasaan. Dan untuk itu, kritik publik akan dengan mudah dianggap sebagai bentuk radikalisme terhadap kepentingan kekuasaan.

Kali ini batas wilayahnya dimulai dari lingkup aparatur sipil negara, bukan tidak mungkin diperluas ke seluruh penjuru kehidupan publik. Keragaman berpendapat menjadi terancam, menuju keseragaman.

Demokrasi mengarah pada kuasa oligarki. Keterbelahan publik secara sengit, yang terbentuk sebagai hasil kontestasi yang ketat dan panas, tidak kunjung redam. Para aktor dan institusi politik ikut berperan.

Politisasi identitas yang dimainkan para elite, ditelan mentah-mentah oleh publik, dan bersamaan dengan itu setelah konsolidasi kekuasaan terbentuk melalui kompromi politik, maka legitimasi yang diperoleh lantas dipergunakan untuk menyumbat ekspresi politik berbeda.

Degradasi Demokrasi
Kehidupan demokrasi mengalami periode suram. Narasi NKRI dan Pancasila diperhadapkan dengan cap radikalisme. Bahkan batas indikasi radikalisme dibentuk seolah menjadi tampilan atribut berbusana: cadar dan cingkrang.

Pada posisi tersebut, sesungguhnya terjadi upaya mendiskriminasi pandangan berbeda, membentuk stereotip dan stigma yang diperlekatkan secara peyoratif pada ekspresi simbolik keagamaan.

Dengan cara berputar, kekuasaan hendak mempergunakan tangan dan otot kekuasaan untuk melakukan penertiban, serta sekaligus menegakkan keteraturan. Dan dalam hal itu, berbeda dari arus utama kepentingan kekuasaan, adalah sebuah kesalahan.

Teratur itu bermakna linier dengan tafsir kekuasaan, tidak diperkenankan adanya perbedaan, karena yang berbeda adalah bentuk ancaman bagi kekuasaan. 

Padahal persoalan pokok yang termuat dalam rumusan kehidupan berbangsa belum juga tertuntaskan, yakni menghantarkan kehidupan merdeka, bersatu, berdaulat serta adil dan makmur. 

Dengan menggunakan perspektif kerja kabinet yang sedemikian, sulit membayangkan adanya kemerdekaan, atau bahkan kemungkinan terciptanya persatuan, hingga pada akhirnya kita akan seolah jauh panggang dari api, dalam mencapai keadilan dan kemakmuran.

Menerka di Balik Wacana
Pada kajian komunikasi, konten tidak bisa dilepaskan dari konteksnya. Apa yang disuarakan secara berturutan dari pusat kekuasaan perlu diperhatikan terutama dalam upaya merangkai analisis wacana.

Merujuk, James Paul Gee dalam Hamad, 2004, dengan menggunakan analisis wacana yang terurai pada diskursus (d kecil) melihat aspek linguistik tekstual, dan memperhatikan Diskursus (D besar) sebagai aspek non linguistik secara kontekstual dan intertekstual, maka kita akan mampu membaca makna wacana yang tersusun.

Tema-tema diskusi elite politik yang muncul ke ruang publik bergulir secara berkelanjutan, mulai dari: amandemen UUD 1945, dengan pengembalian peran GBHN, wacana pilkada tidak langsung, hingga peluang perpanjangan masa jabatan presiden. 

Keseluruhan hal-hal tersebut dimaknai sebagai konten atas diskursus (d kecil) yang dikembangkan.

Bila kemudian dibingkai dengan rencana stabilisasi, menggunakan tema anti radikalisme secara meluas, maka secara keseluruhan diskursus tersebut memiliki mata rantai yang saling terkait.

Keterikatan serta keterkaitan tersebut, merupakan relasi kontekstual dalam Diskursus (D besar).

Perguliran wacana yang berurutan itu, hanya dapat dilakukan bila terdapat situasi dan kondisi stabil, dan untuk serta atas nama stabilitas tersebut, penertiban atas suara berbeda menjadi diperlukan.

Bila tidak diperbaharui model komunikasi yang meleset dari kabinet Indonesia Maju Kali ini, kita akan sulit melaju dan melesat. Bahkan, bukan tidak mungkin kita justru sedang mengambil langkah mundur, menjauh dari cita-cita bersama tentang Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun