Perlu penanganan segera. Melebarnya defisit BPJS Kesehatan, menyampaikan pesan tentang masa depan program kesehatan nasional tersebut.
Sekurangnya terdapat situasi di mana seluruh pihak terkait menunggu dalam ketidakpastian, dimana dana bailout selisih anggaran BPJS Kesehatan tidak segera ditambal oleh pemerintah.
Nilai akumulasi defisitnya hingga 2019, diperkirakan akan menyentuh Rp 32 triliun. Dibutuhkan gerak cepat dan perhatian oleh para pihak terkait guna menuntaskan persoalan tersebut secara komprehensif.
Gerakan moral yang dilakukan oleh Menkes Terawan untuk menyumbangkan gaji dan tunjangan kinerjanya, kepada BPJS Kesehatan merupakan niat mulia. Tetapi tidak mencukupi. Memerlukan gerakan sistematik dan terstruktur, guna menyelesaikan problem defisit tersebut.
Langkah progresif dengan menaikan cukai rokok rerata tertimbang sebesar 23 persen perlu diapresiasi. Setidaknya dalam dua hal (a) menambah income pendapatan cukai rokok, (b) mereduksi jumlah perokok dan angka kesakitan akibat merokok.
Efektifkah? Masih diperlukan trial lapangan. Pada beberapa kajian ekonomi, kehendak merokok akan tereliminasi ketika harga jual eceran rokok di atas Rp 70 ribu. Bila titik optimum harga untuk berhenti merokok belum terlampaui, konversinya terjadi melalui penurunan jumlah konsumsi rokok.
Dengan kenaikan baru diperkirakan dampak domino pada harga eceran mengalami kenaikan 35 persen, sehingga belum akan terlihat dampak domino langsung secara signifikan. Tetapi hal itu perlu diacungi jempol sebagai sebuah kebijakan.
Solusi Naik Premi
Gagasan yang diusung dan telah banyak dibicarakan adalah soal naik tarif premi BPJS Kesehatan, sebesar 100 persen untuk kelas 1 dan 2, nampak menjadi opsi yang realistis. Hal itu merupakan penyelesaian ad hoc, sebagai solusi parsial. Namun harus dilakukan.
Bila dirunut ke belakang, skema negatif arus cash flow BPJS Kesehatan terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dimulai dari persoalan kepatuhan pembayaran, moral hazard penggunaan pelayanan, hingga di titik ekstrim adanya potensi fraud.
Problem dominannya dikontribusi oleh kepentingan politik terkait. Mengapa begitu? Karena persoalan perlindungan dan jaminan kesehatan, menjadi ranah kebijakan serta keputusan politik.
Narasi bahwa negara memberikan perlindungan serta jaminan kesehatan adalah sebuah komitmen tekstual, belum sampai pada realitas faktual. Karena memang dibutuhkan sumberdaya yang mumpuni untuk  memastikan terciptanya perlindungan dan jaminan.