Layaknya lahan gambut, politik kita menyimpan bara api justru di bagian terdalam. Siap untuk menghanguskan. Model kompromi dari resolusi tingkat tinggi para ketua partai akan terlihat dari bentuk kabinet dan susunan personil yang terlibat.
Indonesia Post Jokowi
Di bagian akhir, struktur kabinet akan menjadi cerminan bagi peta politik baru di masa mendatang. Harus diakui, kabinet bentukan penguasa terpilih sekaligus dapat dijadikan sebagai indikator politik pasca Jokowi.Â
Maka siapa yang dapat mengakses kekuasaan lebih banyak, akan berpotensi menjadi pemenang di kemudian hari.
Politik membutuhkan resources, baik sumber daya manusia maupun bentuk lain secara material. Figur Jokowi yang bukan ketua partai menjadi menarik. Karena kedudukannya akan sangat terkait dengan kepentingan partai politik dimana berasal.Â
Kejutan masih belum berakhir. Partai oposisi agaknya dan bisa jadi dimasukan dalam formatur kabinet, untuk menyeimbangkan tekanan dari kubu koalisi. Sementara induk partai penguasa akan memperoleh slot pengisi kabinet lebih banyak. Drama politik akan terus terjadi.
Peran protagonis dan antagonis dapat saling bersalin rupa. Figur sentral yang kuat dalam kabinet dapat menjadi barometer kepemimpinan lanjutan. Titik pangkal persoalan baru, bagaimana pemimpin mampu membangun keseimbangan dari berbagai tarikan kepentingan tersebut?
Menjawab problem clientelisme, agaknya hanya dapat dilakukan dengan kemandirian kepemimpinan. Dalam teori Compliance Gaining, kemampuan kepemimpinan dalam membagun kepatuhan struktur ditubuh organisasi, hanya tercipta melalui ekspertise atas kompetensi -knowledge, skill, attitude kepemimpinan dengan kombinasi pengelolaan power yang dimiliki.Â
Bila kekuasaan hendak menjaga harkat dan martabat diri untuk menjadi pelayan publik, perlu memastikan suara dan aspirasi publik, dengan menyerap serta melakukan kerja yang berorientasi pada kepentingan publik.Â
Hanya itu yang bisa dilakukan. Tidak banyak waktu tersisa, segera putuskan!