Demokrasi berjalan dalam kencangnya gangguan turbulensi. Goncangan pada sendi-sendi demokrasi, demikian terasa dalam kehidupan publik. Polarisasi adalah konsekuensi kompetisi.Â
Padahal demokrasi sesungguhnya mengakar pada kepentingan khalayak ramai. Kini disrupsi terjadi di era digital, demos -publik tertinggal dari kratos -kekuasaan.
Dengan begitu, arah demokrasi berbalik menuju aristokrasi. Kekuasaan ditangan segelintir elite. Tetapi disitulah letak seni dalam kehidupan bernegara. Demokrasi kerap kali dibajak memper atasnamakan publik, untuk kepentingan sesaat elite.
Pada konsep demokrasi langsung, publik memilih diantara mereka yang menjadi pemimpin. Mereka yang terpilih, diberi kewenangan untuk mengatur dan mengelola. Pilihan dibangun berdasarkan preferensi individu. Mekanisme promosi diri terjadi.
Retorika adalah dasar paling awal konsep pemasaran citra. Siapa yang mampu tampil ke muka, dengan kemampuan menyampaikan pesan persuasi, akan memperoleh simpati dan dukungan.Â
Pondasi dari kekuatan retorika, terletak pada (a) ethos -tentang kredibilitas/ trust, (b) pathos -terkait aspek emosionalitas/ value, dan (c) logos -berkaitan dengan runutan logika/ rasionalitas.
Situasi tersebut tidak lagi menjadi panduan baku hari-hari ini. Teknologi melumat kemampuan komunikasi individual. Fenomena buzzer dan influencer menjadi ilustrasi, atas model proyeksi citra melalui pembicaraan kerumunan. Viralitas menjadi target yang disasar.
Signifikansi pembeda buzzer dan influencer terletak pada kemampuan dalam melakukan aspek persuasi, skill untuk mempengaruhi.Â
Buzzer relatif memainkan opini melalui dengungan informasi, melalui kekuatan jumlah pengikut alias followers. Sementara itu, influencer mempersiapkan aspek komunikasi yang lebih tersusun dan mendalam, meski dengan lebih sedikit audiens.