Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masih Adakah Masa Depan Demokrasi?

28 April 2019   15:41 Diperbarui: 29 April 2019   15:43 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demokrasi (HANDINING) | Kompas.com

Pertanyaan penting akan eksistensi demokrasi semakin menyeruak di negeri asal Demokrasi pasca keterpilihan Trump. Buku karya Steven Levitsky & Daniel Ziblat berjudul: Bagaimana Demokrasi Mati, apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita setebal 272 halaman menjadi salah satu titik penting merenungkan kembali urgensi demokrasi sebagai pilihan tata kelola kehidupan bermasyarakat. 

Kehadiran buku ini menarik, mengingat Trump memang figur sensasional, dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya secara serius di ranah politik, sebuah wilayah baru bagi sang Konglomerat. Trump adalah pengusaha sukses yang memang eksentrik, penuh dengan kontroversi, tetapi tetap menginspirasi banyak pihak pada kemampuan sense of business yang mumpuni.

Mungkin saja bagi Trump, politik adalah ruang bermain di luar sektor bisnis, bagi upayanya untuk mengekspresikan kehendak serta ambisi kuasanya. Bahkan secara mengejutkan, kemenangan Trump tidak pernah tertangkap melalui hasil temuan survei. Padahal Hillary sebagai kompetitor, justru mendapat simpati banyak dalam persepsi opini publik. Bukan hanya itu, Hillary juga memenangi berbagai survei.

Bagaimanapun demokrasi adalah pilihan yang diambil sebagai alternatif mengatur kehidupan sosial. Demokrasi berbicara tentang otoritas pengaturan hidup bersama, bahkan secara singkat dimaknai dalam formulasi sederhana: pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Bila demikian, basis mendasar dalam demokrasi, adalah soal kepercayaan yang merupakan legitimasi bagi pemerintah. Maka pertanyaan yang perlu dirumuskan ulang adalah: apakah para elit pengelola kehidupan bersama itu benar-benar membawa kepentingan publik?. 

Terang saja jawabannya sangat bergantung pada apa yang dirasakan oleh publik itu sendiri. Slogan yang mencuat dalam demokrasi adalah tentang; kebebasan, kebersamaan dan keadilan. Keseluruhan aspek tersebut menjadi pondasi serta indikator di alam demokrasi. 

Trump dan Pagar Demokrasi
Kemenangan Trump, tidak hanya disangsikan oleh pihak diluar Partai Republik, bahkan di dalam internal organisasi partai pengusungnya sendiri, ada keterbelahan sikap diantara petinggi partai. Sistem kepartaian di Amerika berbentuk Dwipartai, hanya Partai Republik dan Partai Demokrat, hal tersebut membuat institusi kepartaian keduanya solid dalam kerangka struktur organisasi. 

Bila kemudian ilustrasi bangunan kenegaraan dibatasi oleh pagar demokrasi, maka pagar kehidupan bernegara tersebut terdiri dari norma-norma sosial bersama, sebagai konsensus yang melandasi ketentuan dalam konstitusi. Dalam kajian Levitsky & Ziblat, kemenangan Trump diidentifikasi sebagai periode kepemimpinan politik yang berpotensi menghadirkan otoritarianisme.

Beberapa hal yang menjadi ukuran dari bibit otoriter, menurut Levistky & Ziblat, dilihat melalui perilaku utama, diantaranya; (1) komitmen terhadap aturan main yang demokratis, (2) deligitimasi kubu oposisi yang berseberangan, (3) tekad bertoleransi, dan (4) memberi dukungan pada kebebasan sipil dan media. Pada keseluruhan kriteria tersebut, Trump memiliki persoalan.

Meski demikian, toh Trump tetap pemimpin yang terpilih, meski diselimuti skandal Cambridge Analytica, dengan sisi kelam permainan algoritma microtargeting sosial media. Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian Levitsky & Ziblat, pemimpin otoriter justru kerapkali muncul sebagai harapan akan situasi yang terjadi, hadir dengan tampilan populer yang menjadi antithesis kemapanan.

Banyak kasus pemimpin otoriter dunia, tidak hadir dengan tiba-tiba, bahkan beberapa diantaranya dianggap sebagai pahlawan negara, tetapi kemudian masuk dalam perangkap kekuasaan dengan sifatnya yang melenakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun