Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ilmuwan dalam Diksi dan Narasi Politik

9 Februari 2019   16:45 Diperbarui: 9 Februari 2019   17:02 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pesan dan makna adalah hal yang dipertukarkan! Komunikasi berarti membangun kesepahaman atas pesan serta makna, yang disampaikan antara para pihak. Maka jelang momentum menuju hari pemilihan di tahun politik ini, tidak dipungkiri terjadi friksi antar barisan pendukung dan juru bicara yang semakin memuncak.

Asosiasi publik terhadap gesture dan semiotik politik, semakin tinggi sekaligus mengental sensitifitasnya. Tahun politik menjadi bulan-bulanan dari kegiatan politisasi, apa saja yang terlihat sebagai kelemahan dan kelengahan, lantas menjadi konsumsi publik. Walhasil, pesta demokrasi politik kali ini, marak dengan diwarnai aksi saling lapor kepada pihak berwenang, ada saja yang jadi pangkal persoalan.

Beberapa hal yang kemudian menyedot perhatian publik, sesungguhnya bukan terletak pada dampak praktis langsung atas permasalahan publik, tetapi hanya sampai tataran wacana pada permukaan, yakni perdebatan diksi dan interpretasi. Maka kemudian pilihan kata,"sontoloyo", "genderuwo", "punah", "bubar", "bocor", "konsultan asing" dan termasuk"gaji", menjadi lebih menarik ketimbang substansi.    

Kontestasi sejatinya memang kompetisi, saling beradu argumen dan saling mengalahkan, dalam makna implisit yakni memenangkan gagasan melalui persuasi publik. Problemnya, kedua belah pihak, yang berada di barisan pemenangan kandidat, justru larut dalam mencermati gerak ceroboh kandidat lawan, untuk melakukan serangan. 

Tentu sebagai sebuah strategi hal tersebut tidaklah salah, namun minim esensi. Kesalahan pilihan kata, kemudian menjadi blunder yang tidak termaafkan, padahal bisa jadi karena keterbatasan kosakata saat bermain narasi verbal.

Setidaknya, ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh pada keriuhan politik kali ini, yakni; (a) kandidat dan keseluruhan juru bicara serta tim sukses, harus lebih matang dalam mengartikulasikan gagasan, termasuk mereduksi pilihan kata yang berpotensi bias interpretasi, (b) publik melalui akses informasi yang mudah terkoneksi melalui jejaring komunikasi, menjadi lebih mudah terpolarisasi, dan (c) peran serta ilmuwan dan akademisi menjadi penting, guna mendukung pencerdasan publik.  

Peran Intelektual
Hingar bingar perpolitikan kita, menempatkan para ilmuwan seolah sebagai pengamat yang memainkan nilai objektivitas dan netralitas. Sejatinya, sebagaimana Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM Cornelis Lay (7/2) tentang Jalan Ketiga Peran Intelektual, bahwa terdapat tantangan yang jauh lebih pokok, dari sekedar pilihan dikotomis antara (a) menjadi bagian dari ilmuwan di poros kekuasaan, atau kemudian (b) berada berseberangan dari tembok kekuasaan, opsi tersebut berupa tindakan untuk dapat bersikap keluar maupun masuk pada kekuasaan.  

Ilmuwan tentu tidak lagi dapat menghadirkan dirinya sebagai resi di menara gading yang berada di puncak ketinggian dalam pertapaannya, tetapi bisa bertindak dan mewakili kepentingan publik, baik dengan terlibat dalam kekuasaan ataupun menjaga jarak serta ruang dari area kekuasaan secara bersamaan.

Hal ini selaras dengan apa yang dimaknai Foucault tentang Knowledge is Power secara dialektik. Meski dapat diterima secara konseptual, tetapi tawaran Cornelis Lay bukan tanpa persoalan dikemudian hari.

Semangat dan optimisme positif Cornelis Lay, sesungguhnya serupa dengan apa yang dipahamkan Herbert Marcuse tentang peran mahasiswa dan ilmuwan sebagai intelektual sebagai motor penggerak perubahan sosial pada periode 1968 di Eropa dan Amerika yang ditandai dengan kehadiran gerakan New Left, meski saat itu belum ada asumsi yang berani sebagaimana yang dikemukakan Cornelis Lay untuk merangsek ke pusaran kekuasaan, tetapi berdasarkan pengalaman Marcuse, mahasiswa dan ilmuwan sebagai lapis intelektual memiliki bias kelas sosial dimana posisinya merupakan kelas antara yang memiliki potensi mobilitas vertikal dengan bekal kecakapan akademik, sehingga mudah terkooptasi dengan mimpi menjadi penguasa baru di kemudian hari.

Ada benarnya Cornelis Lay, dalam paradigma positivistik, kebenaran baru dinyatakan objektif bila telah teruji secara material, dan ujian tersebut mengharuskan intelektual tidak alergi dengan kuasi kekuasaan. Netralitas adalah idealisme ruang kosong, ada kesejatian pada kebenaran melalui akseptasi nilai prinsip kemanusiaan akan kesederajatan, keadilan dan kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun