Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Resolusi Sehat bagi BPJS Kesehatan

7 Januari 2019   12:59 Diperbarui: 7 Januari 2019   13:17 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah didera persoalan defisit sepanjang tahun 2018, BPJS Kesehatan kini berhadapan dengan target integrasi pelayanan secara nasional. Tentu sebuah hal yang tidak mudah, karena periode pelaksanaan yang bersamaan dengan hajatan besar politik nasional. Sebagaimana umumnya, isu dan tema seputar kesehatan publik, selalu menjadi komoditas politik, bagi sebuah program kampanye yang menarik minat publik. Namun sayangnya, sektor kesehatan pula yang sering ditinggalkan ketika proses politik telah berlalu, tidak menjadi arus utama dalam prioritas persoalan.

Apa buktinya? Tentu saja, defisit keuangan BPJS Kesehatan adalah bentuk konkrit dari permasalahan yang selalu berulang, semacam siklus ritual yang terus terjadi tanpa antisipasi, hal ini sekaligus merupakan wujud dari ketidakseriusan kekuasaan dalam implementasi program tersebut. Siapa yang tunjuk dalam kriteria kekuasaan? Tidak hanya pemerintah, meski dalam hal ini pemerintah memiliki andil yang besar, tetapi seluruh parapihak yang memiliki legitimasi terkait program BPJS Kesehatan.

Pihak Eksekutif, baik di tingkat pusat dan daerah, disertai dengan struktur badan pelaksana yakni BPJS Kesehatan itu sendiri, bersama dengan pihak Legislatif yang menjadi kubu penyeimbang kekuasaan, hendaknya mampu melihat persoalan hajat sehat publik sebagai sesuatu yang bersifat krusial. Ruang perdebatan politik yang kerap muncul ke hadapan publik saat ini, lebih didominasi oleh kepentingan akan wacana kekuasaan, dibanding mencari solusi atas problem yang telah terjadi.

Padahal kekuatan terbesar bangsa ini terletak pada sumberdaya manusia, alih-alih sumberdaya alam yang bersifat tidak dapat diperbaharui -non renewable resources. Maka tentu saja, miris melihat upaya "ngotot"kekuasaan dalam melakukan transaksi besar akusisi perusahaan tambang Freeport, tetapi abai terhadap persoalan keseharian publik terkait sakit dan kematian. Di titik ini, kemudian konteksnya berubah, dalam makna bahwa dibutuhkan keteguhan, dalam bentuk komitmen politik, guna menjamin terpenuhinya hak mendasar dari kepentingan publik, termasuk untuk urusan kesehatan.

Mungkinkah hal itu bisa dijalankan? Tentu tergantung pada kapasitas dan orientasi pemerintahan itu sendiri, dalam melihat pembiayaan kesehatan publik sebagai bentuk investasi jangka panjang bagi kepentingan kenegaraan bangsa ini. Bukankah men sana incorpore sano? dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Ketika tubuh bangsa ini lemah, mengalami kesakitan, maka dapat dipastikan jiwa yang terbentuk pun tidak akan sehat. Hal ini menjelaskan mengapa hoaks merajalela, tentu karena jiwa bangsa ini sedang terguncang dan berfluktuatif secara emosional, alias "sakit".

Di mana titik muasal permasalahan BPJS Kesehatan bermula? Kita perlu runut dan urai dalam kompleksitas persoalan kesehatan nasional, tetapi satu hal yang menjadi bingkai besar dari berbagai identifikasi permasalahan ini adalah sikap dalam keberpihakan kekuasaan, untuk menjadikan publik tidak hanya sekedar angka dalam tujuan kepentingan pemenangan kursi kekuasaan, tetapi juga menghantarkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh elemen warga bangsa tanpa terkecuali.

Akses Publik vs Adminstrasi Operasional

Hingga kemudian di awal tahun kita ini, kita mendapati bahwa terdapat pemutusan hubungan kerjasama BPJS Kesehatan dengan beberapa rumah sakit diberbagai daerah. Hal tersebut terjadi dengan berbagai alasan, yakni surat rekomendasi hingga belum terakreditasinya sebuah institusi kesehatan. Hal ini jelas dilematik, sekaligus menambah persoalan baru dari apa yang telah diurai dari pelajaran ditahun 2018 yang lalu terkait dengan defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Dalam prinsip yang substantif, publik membutuhkan pembukaan akses kesehatan yang bersifat meluas, tentu saja karena sakit tidak pernah diduga kapan waktu dan tempatnya. Dengan demikian, perluasan kerjasama dengan jejaring institusi layanan kesehatan menjadi bersifat penting. Lantas apa yang diperlihatkan dari penegakan aturan administrasi ini? Bahwa kita mahfum dengan kondisi tumpang tindih berbagai aturan yang bisa jadi saling bertentangan dengan situasi aktual.

Pertama, relasi kerjasama asimetrik, yakni kekuatan negosiasi dalam kerangka kerjasama terletak pada BPJS Kesehatan sebagai pembeli secara monopoli dari layanan kesehatan, yang sesuai target 2019 akan terintegrasi secara nasional, maka tentu saja tidak mungkin rumah sakit mau memutuskan dirinya tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, karena pasien secara keseluruhan akan berasal dari program nasional tersebut.

Bisa dengan mudah ditebak, pemutusan menjadi sangat tergantung pada satu pihak, tidak berimbang dan jauh dari kaidah sebuah kerjasama yang fair, dimana seharusnya melibatkan para pihak yang bekerjasama untuk membangun skema win-win solutiondari kendala serta permasalahan yang dihadapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun