Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencermati "Grassroot" sebagai Refleksi Elit

20 Juni 2018   12:37 Diperbarui: 20 Juni 2018   12:36 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hingar bingar! Hari-hari ini dalam agenda politik nasional penuh keriuhan. Para elit politik mengeluarkan berbagai siasat dan strategi dalam upaya pemenangan. Maklum saja, gelaran pentas kontestasi politik telah semakin mendekat. Manuver dan akrobat politik, tidak jarang menimbulkan kehebohan dalam respon publik.

Pada persepsi yang meluas, grassroot -akar rumput yakni masyarakat ditingkat bawah, bisa jadi memahami sebuah realitas yang tampak dipermukaan secara berbeda. Elit politik kita kerap beradu argumen dan bersilang tindakan, menguatkan pemahaman tentang perbedaan dan berlawanan. Jika kemudian kesan itu yang tertangkap sebagai hasil komunikasi tidak harmonis antar elit, maka bara dalam sekam telah dipupuk ditingkat akar rumput.

Hal ini penting untuk diperhatikan dalam durasi waktu yang menjelang. Karena pada periode pemilihan langsung baik ditingkat lokal maupun nasional, potensi gesekan dalam bentuk friksi sosial dapat terlihat secara latent maupun manifest.

Para elit dalam hal ini mereka yang menjadi tokoh publik, harus memahami bahwa aspek meniru (imitation) adalah bentuk dari pembelajaran yang paling efektif. Setidaknya demikian formulasi Albert Bandura dalam teori pembelajaran sosial. Bahwa dalam perkembangan perilaku manusia, maka proses mengamati dan melakukan peniruan dalam interaksi dengan orang lain menjadi penting.

Jika demikian, maka bayangkan hiruk pikuk dalam riuh rendah politik nasional yang diawali dengan saling melontar kata-kata antar elit, menjadi bagian dari modelling yang dicontoh dalam perilaku publik. Memori terdalam dari masyarakat mampu mengingat perilaku tokoh untuk kemudian diadaptasikan, bukan tidak mungkin hasil akhirnya adalah kekacauan alias chaos.

Meski Bandura juga mengungkapkan adanya self regulation, tetapi proses tersebut tidak berlangsung seketika. Upaya untuk dapat meregulasi diri tersebut, hanya akan dapat terjadi setelah proses pembelajaran berlangsung dalam makna evaluatif pasca kejadian. Kita tentu tidak berharap hal buruk terjadi, tetapi usaha antisipatif dan aktif harus diusahakan.

Dengan demikian, peranan elit menjadi signifikan dalam menciptakan suasana sejuk. Tontonan yang menjadi tuntunan, harusnya memberi dampak pembelajaran secara positif. Era demokrasi terbuka dengan pemaknaan kebebasan berekspresi dan berpendapat tidak serta merta membiarkan terciptanya perilaku yang kontraproduktif bagi kepentingan bersama, dan disini letak laku dan peran para elit sebagai role model.

Benar bahwa kondisi pro-kontra selalu terjadi sebagai bibit konflik, tokoh protagonist dan antagonis ada dalam setiap lakon drama. Tetapi kita tentu berharap parapihak dalam ranah dan kancah politik domestik dapat memiliki sikap negarawan yang memikirkan aspek penting kebersamaan dalam kebangsaan ketimbang kepentingan politik kekuasaan sesaat dan bagi segelintir pihak.

Kalaulah perilaku publik adalah ceriminan sikap yang terbentuk oleh para elit, dimana cermin memiliki kemampuan reflektif --memantulkan cahaya dan objek gambar, tentu kita tidak bisa banyak berharap dari situasi dan kondisi saat ini, bisa jadi justru ibarat pepatah, "buruk rupa cermin dibelah".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun