Pragmatisme kepentingan kapital dalam memastikan support finansial media dan potensi untuk meluaskan diri melalui kancah politik, membuat media -baca pemilik media kerap terjebak politik praktis.
Meski media adalah tambahan pilar demokrasi setelah Trias Politica ala Montesquieu, tetapi sifatnya yang menempatkan khalayak audiens sebagai sasaran tembak atas paparan pesan, persis seperti Teori Peluru dalam ilmu komunikasi menimbulkan efek persuasi yang dapat berbahaya bagi kebebasan ekspresi demokrasi, tentang penyeragaman persepsi.
Paparan pesan yang berulang-ulang dalam mengubah sikap dan perilaku individu, membuktikan adagium yang menyatakan, kebohongan ketika direproduksi secara berkelanjutan akan tampak menjadi kebenaran.
Lantas kebenaran yang seolah-olah tersebut, kemudian dieskalasi pada tataran opini publik. Problemnya publik perlu counter narasi atas wacana pada media, prasyarat utama dalam kemampuan melakukan hal itu adalah kecerdasan literasi media.
Kebohongan, bukan hanya hak prerogatif dari media pencipta hoaks, pada sisi yang bersamaan media mainstream bisa bermain kepentingan untuk melakukan manipulasi atas konstruksi realitas berdasarkan kepentingannya.
Media; Dulu, Kini dan Nanti
Sesuai episode kesejarahan bangsa ini, media selalu berlaku sesuai jamannya.
Era prakemerdekaan maka pers dan media bertutur tentang gagasan kebangsaan secara ideologis bagi persatuan dan perjuangan. Lalu, era orde lama pers dan media adalah corong politik partai.
Tibalah pada era kegelapan dibawah politik otoritarian orde baru. Hingga kemudian muncul kembali dalam bentuk kebebasan pers dan media pasca reformasi.
Kini, teknologi mengubah landskap media yang monolog, kearah panggung setara antara produsen dan konsumen pesan secara interaktif melalui sosial media.
Kehadiran new media anti mainstream membuat playfield gagasan menjadi panggung terbuka, termasuk media mainstream yang mendigitalisasi dirinya guna beradaptasi atas perubahan perilaku publik yang well technology.