Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Relawan, Antara "Follower" dan Gagalnya Kaderisasi

17 April 2018   18:05 Diperbarui: 17 April 2018   18:09 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengumuman pembentukan barisan relawan, dalam artikel penuh dan fullcolour di media massa itu, jelas menarik perhatian.

Apa pasalnya? Karena dilakukan jauh-jauh hari, dari masa pemilihan yang masih dalam tahun mendatang.

Pertanyaannya, kenapa musti tergesa-gesa? Ataukah ini bagian dari rencana yang tersistematika?.

Tidak mudah menebak motifnya, namun kita dapat membaca dan melakukan analisa korelasi atas kemungkinan yang terjadi.

Pertama: relawan dibentuk atas kesamaan tujuan sebagai bentuk dukungan, baik pada individu maupun institusi.

Kedua: pembentukan relawan adalah wadah anorganik atas dukungan politik yang organisasional, diluar struktur resmi dan formal kelembagaan politik yang seharusnya dilakukan para kader.

Ketiga: sesuai namanya, relawan merupakan simpatisan non formal, sifatnya cair dan berkelompok pada suatu momentum atas kepentingan yang sama.

Dengan demikian, relawan akan didominasi simpatisan non kader partai. Karena umumnya dalam struktur kader, akan dilibatkan pada badan pemenangan pemilihan secara internal.

Apakah pengumuman kepada khalayak ramai, dalam kerangka pembentukan relawan menjadi aspek strategis diwaktu yang masih sangat awal?

Dalam kerangka komunikasi, maka maklumat adalah bentuk penyampaian pesan yang secara sadar dan sengaja ditujukan bagi terciptanya kesan -persepsi dibenak publik.

Mari kita uraikan, dalam fragmen yang terpisah-pisah.

Pertama: pembentukan relawan yang memberi dukungan politik menjadi sarana bargaining bagi pihak yang diberikan dukungan.

Kedua: formalisasi kelompok informal dalam hal ini relawan, sekaligus memberi isyarat kepada parapihak yang berbeda akan kesiapan berkompetisi.

Ketiga: pemberitahuan kepada publik jauh-jauh hari sekaligus menjadi penanda, dimulainya proses kerja secara terstruktur untuk jangka waktu yang panjang. Prinsipnya pemanasan dan eskalasi.

Dengan demikian, aktifitas tersebut telah didesign dalam setting yang spesifik, termasuk program kerja dan target sasaran yang hendak dituju.

Apakah relawan bersifat sukarela? Dalam konteks waktu, tenaga dan pikiran jelas perlu komitmen sumbangsih yang ekstra serta tanpa pamrih.

Lalu bagaimana mekanisme pembiayaan program? Disini letak tantangan terberatnya. Apakah kolektif relawan mampu mentransformasi gagasan atas kesepahaman tujuan kedalam kerelaan berkorban, termasuk finansial?

Pada beberapa kasus seperti crowd funding ala Obama berhasil mengumpulkan jumlah donasi kampanye politik yang massif, dengan syarat kemampuan mengelola dan mengolah simpati publik.

Apakah hal yang sama terjadi dalam situasi lokal? Tentu sangat bergantung mekanisme pendekatan yang dilakukan.

Sebaran populasi produktif, dalam struktur masyarakat, memberikan ilustrasi surplus demografi terjadi, dengan demikian karakteristiknya dapat terbaca, semisal berusia muda dan masuk dalam klasifikasi pemilih pemula, tanpa kedekatan ideologis spesifik sekaligus digital citizen.

Jika demikian, kearah mana model pembiayaan program aktifitas politik relawan dibangun? Setidaknya bila kumpulan tersebut kreatif, maka banyak hal yang dilakukan mengejar donasi.

Tentu saja mulai dari sumbangan relawan, merchandising hingga sponsorship melalui event kampanye yang melibatkan publik dapat dilakukan, termasuk meminta biaya logistik kepada tokoh ataupun institusi politik yang didukung.

Ajang elektoral memang membutuhkan ongkos politik, ketajaman visi maupun program harus ditopang dengan kedalaman kantong.

Sesungguhnya aktifitas relawan secara senyap dapat dilakukan, tetapi ekspose publik masih dianggap penting untuk mencari panggung bagi upaya memperlihatkan eksistensi.

Kelompok sepemahaman dalam kategori ini tidak lain fans dan follower, layaknya dunia maya. Pun bisa jadi bila ranah kampanye online menjadi lokasi sasaran, maka bot dan fake account menjadi tambahan jumlah pendukung.

Mengapa demikian? Karena kita memang hidup dalam drama yang menguras perhatian, manuver politik jelang tahun pemilihan, akan dipenuhi sejumlah aksi akrobatik yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya.

Apa yang kemudian tidak tepat? Pengelolaan instant fans dan followers yang dimaksudkan sebagai simpatisan adalah kegagalan edukasi dan pencerahan politik publik, terutama jika aktifitas relawan jauh lebih dominan dibandingkan kader, termasuk membangun persepsi ketokohan individu terlepas dari partai politik. Padahal kanal politik kepartaian, adalah mekanisme formal dalam sistem tata perpolitikan kita!.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun