Pertama: pembentukan relawan yang memberi dukungan politik menjadi sarana bargaining bagi pihak yang diberikan dukungan.
Kedua: formalisasi kelompok informal dalam hal ini relawan, sekaligus memberi isyarat kepada parapihak yang berbeda akan kesiapan berkompetisi.
Ketiga: pemberitahuan kepada publik jauh-jauh hari sekaligus menjadi penanda, dimulainya proses kerja secara terstruktur untuk jangka waktu yang panjang. Prinsipnya pemanasan dan eskalasi.
Dengan demikian, aktifitas tersebut telah didesign dalam setting yang spesifik, termasuk program kerja dan target sasaran yang hendak dituju.
Apakah relawan bersifat sukarela? Dalam konteks waktu, tenaga dan pikiran jelas perlu komitmen sumbangsih yang ekstra serta tanpa pamrih.
Lalu bagaimana mekanisme pembiayaan program? Disini letak tantangan terberatnya. Apakah kolektif relawan mampu mentransformasi gagasan atas kesepahaman tujuan kedalam kerelaan berkorban, termasuk finansial?
Pada beberapa kasus seperti crowd funding ala Obama berhasil mengumpulkan jumlah donasi kampanye politik yang massif, dengan syarat kemampuan mengelola dan mengolah simpati publik.
Apakah hal yang sama terjadi dalam situasi lokal? Tentu sangat bergantung mekanisme pendekatan yang dilakukan.
Sebaran populasi produktif, dalam struktur masyarakat, memberikan ilustrasi surplus demografi terjadi, dengan demikian karakteristiknya dapat terbaca, semisal berusia muda dan masuk dalam klasifikasi pemilih pemula, tanpa kedekatan ideologis spesifik sekaligus digital citizen.
Jika demikian, kearah mana model pembiayaan program aktifitas politik relawan dibangun? Setidaknya bila kumpulan tersebut kreatif, maka banyak hal yang dilakukan mengejar donasi.
Tentu saja mulai dari sumbangan relawan, merchandising hingga sponsorship melalui event kampanye yang melibatkan publik dapat dilakukan, termasuk meminta biaya logistik kepada tokoh ataupun institusi politik yang didukung.