Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Money

Bauran Kebijakan dan Efek Perilaku Konsumen

24 November 2017   10:11 Diperbarui: 24 November 2017   10:42 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beredar diberbagai forum whatsapp group tentang tematik "tipu kolosal" isinya menarik dan menggelitik. Awalnya hanya sepintas lalu dibaca, kemudian diabaikan, sampai pada saat yang bersamaan, kebetulan ada jadwal tugas keluar saya memandang antrian tabung melon gas elpiji. Lebih takjub lagi, karena hal itu terjadi secara nyata di Ibukota. Apa yang terjadi?.

Tentu harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa tidak terjadi persoalan dirantai distribusi. Spekulasi atas permainan supply and demand, untuk mengerek harga lebih tinggi bagi sebuah produk dasar, jelas sebuah tindakan yang tidak terpuji. Lebih jauh lagi, diluar aspek distribusi yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah mekanisme pengambilan keputusan dalam hal kebijakan public.

Mengapa demikian? Karena pada saat yang bersamaan, sosialisasi produk elpiji bright 5.5kg semakin massif, produk tersebut dinyatakan sebagai bentuk konsumsi gas rumah tangga non subsidi. Maka kemudian, public dalam hal ini menilai terdapat korelasi kejadian diantara keduanya. Sebuah kebetulan yang seolah tidak terpisah, sehingga diindikasikan sebagai koinsidensi terstruktur.

Pada sebuah keputusan atas kebijakan publik, maka dasar yang paling penting untuk dilihat adalah dampaknya bagi public itu sendiri. Sehingga aspek terkait perlu dipertimbangkan. Tentu saja, kalkulasi ekonomi ala perusahaan, berbeda dengan rumus hitung keputusan pemerintahan. Hal tersebut, jelas dikarenakan penyelenggara negara tidak sedang berupaya mengejar laba.

Efektifitas dan efisiensi layaknya kinerja perusahaan bisa diterapkan, karena pengelolaan negara memang wajib terfokus bagi kemaslahatan public dan bukan untuk penyelenggaranya. Dalam hal ini, akuntabilitas dan transparansi perlu dimunculkan, untuk membangun kepercayaan bahkan simpati meluas. Mendorong terciptanya subsidi secara tepat sasaran adalah hal yang terbaik, persoalan yang mengemuka bagaimana mendefinisikan kriteria tepat sasaran?.

Sayangnya, tidak ada ketentuan dalam pengukuran secara spesifik dan detail tentang siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Data nasional yang dimiliki masih terbilang kacau, bila tidak mau dibilang berantakan. Siapa yang dijadikan panduan dalam data sensus penduduk? Apakah BPS, Departemen Sosial, Depdagri atau Pemda?. Jelas sulit tercapai satu suara atas target sasaran yang dituju.

Bila data kacau, pengambilan keputusan berpotensi salah, dengan demikian margin of error meningkat. Bisa saja pengambil keputusan mengabaikan hal tersebut, sebagai langkah mendorong perubahan perilaku konsumsi public secara alamiah, tetapi langkah ini jelas tidak elok. Berbagai kebijakan sebelumnya, telah lebih dulu menjadi role model yang nyata.

Semisal, mendorong konsumsi pertalite karena asumsi keekonomian atas subsidi premium yang ditanggung pemerintah semakin besar. Jenis premium memang tidak dihapuskan, tetapi terjadi kesulitan akses premium, kemudian terjadilah peralihan jenis konsumsi bahan bakar. Dalam relasi asimetrik dimana monopoli terjadi, konsumen yang memang akhirnya harus beradaptasi.

Tetapi menggunakan langkah serupa, untuk sebuah kebijakan public, terlebih tanpa dukungan data akurat akan menyebabkan kerancuan. Seolah hendak mempermainkan psikologi massa yang posisi tawarnya lebih rendah, karena jenis konsumsi yang dibutuhkan adalah hal mendasar, maka secara berangsur public akan bersikap menerima tanpa ada pilihan lain.

Tentu saja, pola pengambilan kebijakan public seperti hal tersebut diatas, hendaknya dihindari. Karena berpotensi menimbulkan bara api dalam sekam yang dapat terpetik menyala kapan saja disaaat yang tidak diduga. Karenanya, bauran kebijakan yang diambil pemerintah perlu aspek turunan detail, tidak bisa sekedar test the water karena dampaknya akan meluas kepada masyarakat secara keseluruhan.

Kalaulah pemerintah hendak mengurangi nilai subsidi dengan alokasi yang tepat bagi penduduk yang memang seharusnya mendapatkan subsidi, maka perlu ada sokongan data yang presisi, agar nilai dari subsidi yang dianggarkan tidak menguap ke segala penjuru. Mungkin kita juga musti berkaca dari ide soal E-KTP, yang harusnya jadi basis digital data pemerintah, karena toh manfaatnya masih belum seheboh kasus yang ditimbulkannya. Semoga saja kita mampu belajar dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun