Mohon tunggu...
Yudha P Sunandar
Yudha P Sunandar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Lahir, besar, dan tinggal di Bandung. Senang mendengarkan cerita dan menuliskannya. Ngeblog di yudhaps.home.blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MDG, Formula Kebangkitan Pemuda Tani Sukalillah

17 Mei 2019   06:46 Diperbarui: 17 Mei 2019   06:55 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemuda Tani Sukalillah belajar ke pengurus GEMPITA tentang pertanian di lahan jagung Sukalillah-pikirkanrakyat.com

Pemuda desa yang hijrah ke kota dan berubah jadi kaum metropolitan? Ah, ini cerita lama. Namun, bagaimana bila pemuda desa yang tetap tinggal di desa dan memadukan tekad bersama untuk menjadi petani? Menariknya lagi, mereka memulai semuanya dari nol: tanpa lahan, minim pengetahuan, dan peralatan pertanian seadanya.

Inilah pemandangan di Kampung Sukalillah, Desa Jenggala, Kecamatan Cidolog, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sudah satu semester terakhir terakhir ini, para pemuda desa yang tersisa berbondong-bondong menggarap lahan desa yang sudah tertidur seperempat abad lamanya. Padahal, sedari kecil mereka sudah jauh dari urusan mengolah tanah dan memelihara tanaman.

"Pemuda itu butuh motivasi supaya berdaya," buka Ipan Zulfikri, sang motor penggerak ketika berbincang-bincang dengan saya beberapa waktu lalu. Menurutnya, para pemuda yang tersisa di desanya termasuk kategori yang patah semangat dan tersingkirkan dari persaingan hidup di kota.

Naasnya, di desa, pekerjaan para pemuda ini termasuk serabutan. Ada yang berdagang seadanya, buruh harian, bahkan ada pula yang hanya mencari kayu semata untuk membuat dapur mereka berasap. Barangkali, api semangat hidup para pemuda ini telah padam kala itu. Meskipun demikian, Ipan dan ketiga orang lainnya justru melihat ini sebagai kesempatan, alih-alih sebagai keterpurukan.

Itang Nur Syamsi, koordinator pemuda tani Sukalillah, mengaku butuh waktu berbulan-bulan guna memantik kembali api semangat para pemuda. Dia dan dua teman lainnya aktif membangun forum-forum informal guna memotivasi dan menggerakkan para pemuda ini untuk bertani. Sembari menyeduh kopi dan merokok serta ngaliwet, mereka kerap berdiskusi, berbagi pengetahuan, hingga saling menyemangati satu sama lainnya.

"Awalnya, anak-anak (para pemuda) menolak," tutur Syamsi, berseloroh. Meskipun demikian, dia terus berusaha untuk membangun semangat para pemuda dengan membuka forum diskusi sesering mungkin. Kadang dua pekan sekali, bisa sepekan sekali, tak jarang mereka berkumpul setiap malam. "Supaya saling menguatkan," imbuhnya.

Motivasi Datang, Dukungan Pun Terdulang

Dan benar saja. Setelah berbulan-bulan mencoba, Syamsi berhasil memotivasi para pemuda untuk bangkit. Mereka juga bertekad untuk membangun pondasi ekonominya berbasis potensi desa. Rencana ini pun mereka sampaikan kepada pemerintah desa. Di luar dugaan, pemerintah desa langsung mendukung langkah mereka dengan meminjamkan lahan seluas empat hektar milik desa.

Syamsi dan para pemuda "bangun tidur" pun langsung tancap gas menggarap lahan tidur desa. Berbagai semak belukar dan perdu keras berusia dua puluh tahun berhasil mereka babat habis. Tanpa kenal lelah, mereka bekerja sebulan penuh untuk menata lahan desa agar siap ditanami.

Bagi Syamsi dan kawan-kawan, dukungan semacam ini sangat penting untuk memelihara motivasi para pemuda desa. Selama ini, pemerintah desa selalu menganak-tirikan pemuda, khususnya dalam proses politik di desa. Otomatis, para pemuda terpinggirkan dan kehilangan semangat. "Padahal, sebagai pemuda, posisi mereka sangat strategis dalam menunjang desa dan potret masa depannya," tandas pria bertubuh langsing ini.

"Bahkan, program pemberdayaan desa tidak pernah menyentuh para pemuda," timpal Ipan Zulfikri. Menurutnya, program pemberdayaan desa hanya mengirimkan para orang tua untuk mengikuti seminar dan peningkatan kapasitas di kota. "Kembali ke desa, mereka (para orang tua) lupa (dengan materinya)," kritik Ipan. "Uangnya (dana desa) habis, seminarnya pun tidak berbekas," seloroh tokoh pemuda Priangan Timur ini.

Seiring dengan kebangkitan pemuda kampung Sukalillah, Ipan pun bertekad untuk mendorong penggunaan dana desa guna memberdayakan para pemuda. Dia juga akan menggelitik pemerintah desa agar membangun peran dan kapasitas pemuda desa ke tingkat yang lebih strategis, termasuk manajemen kawasan dan pengembangan ekonomi berbasis potensi desa.

Berjibaku membenahi lahan dari alang-alang dan perdu keras berusia dua puluh tahun-pikirkanrakyat.com
Berjibaku membenahi lahan dari alang-alang dan perdu keras berusia dua puluh tahun-pikirkanrakyat.com

Prinsip Gotong Royong

Arus dukungan juga datang dari luar desa. Salah satunya dari Gerakan Pemuda Tani Indonesia (GEMPITA). Tidak tanggung-tanggung, GEMPITA meminjamkan traktor besarnya untuk mengolah lahan Sukalillah dan mendatangkan para ahli di bidang pertanian guna mengajari para pemuda tentang keterampilan bercocok tanam.

Meskipun tinggal di desa, para pemuda Sukalillah justru jauh dari urusan tanah. Sedari kecil, orang tua sudah mewanti-wanti agar memilih pekerjaan yang lebih baik dari bertani. Hal ini membuat sebagian besar pemuda di desa mana pun di Indonesia enggan untuk bertani, termasuk di Sukalillah. Hasilnya, mereka tidak memiliki keterampilan bertani sedikit pun. Dan mereka mencoba mendobrak hal ini melalui prinsip Gotong Royong.

Bagi pemuda Sukalillah, Gotong Royong tidak hanya diterapkan dalam urusan ngaliwet, ngopi, ngerokok, dan membuka lahan tidur semata. Prinsip yang sama juga mereka terapkan untuk membangun pengetahuan pertanian dan peternakannya. Hasilnya, bantuan dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk GEMPITA.

Setelah bermusyawarah internal dan berdiskusi dengan GEMPITA, para pemuda akhirnya memutuskan untuk menanam jagung di kebunnya. Alasannya, komoditas ini termasuk tanaman yang mudah untuk ditanam dan dipelihara. Selain itu, komoditas ini juga memiliki nilai yang cukup tinggi di pasar lokal.

Sebagai modal awal, mereka menerapkan sistem urunan. Hanya saja, besaran dan bentuknya berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ada yang menyumbangkan benih, ada yang menyumbangkan pupuk, ada pula yang menyumbangkan segenap tenaganya. Tujuannya satu: cita-cita mereka untuk bertani terwujud di lahan seluas empat kali lapangan bola tersebut.

Dalam konteks desa, pola gotong royong para Pemuda Sukalillah mendorong munculnya prinsip serupa dengan corak yang lebih tradisional di tingkat desa. Rukun Gawe (RG) namanya, sebuah metode gotong royong dalam bertani. Konsep ini merujuk kepada aktivitas para petani yang saling membantu menggarap lahan satu sama lain. "Bertani secara kolektif," sebut Ipan.

Menurut Ipan, konsep Rukun Gawe sempat hilang seiring dengan mewabahnya modernisasi dan kapitalisasi di desa. Kondisi ini mendorong pemilik tanah untuk mengupahkan garapan lahannya. Dampak ekonominya, bertani selalu butuh modal besar. Sedangkan dampak sosialnya, metode ini memunculkan dua kelas: pemilik tanah dan buruh tani.

Berkat kerja kolektif ini, kini Ipan dan kawan-kawannya bisa melihat bangkitnya konsep Rukun Gawe di desanya. Saat ini, terdapat 6 Rukun Gawe yang masing-masing beranggotakan 10 orang. Dengan demikian, ada 60 orang masyarakat Desa Jenggala yang terlibat dalam Rukun Gawe. Dan mereka pula yang membantu para Pemuda Sukalillah untuk bercocok-tanam. Sebagai balasannya, para pemuda harus membantu Rukun Gawe lainnya ketika mereka menggarap lahannya.

Ke depan, Ipan bertekad untuk membangun kerja kolektif dalam konteks yang lebih luas. Selain dampak ekonomi, Ipan juga percaya bahwa kerja kolektif bisa mendorong masyarakat untuk fokus bekerja sesuai bidangnya. Bila masyarakat berprofesi sebagai petani, dia akan fokus untuk membangun produktivitas pertanian. "Pola-pola seperti ini yang sedang kami bangun," tekad penyandang gelar Sarjana Pendidikan Islam ini.

Bagi pemuda Sukalillah sendiri, mereka berencana untuk membangun laboratorium dan klinik pertanian yang ramah lingkungan. Di tempat ini, para Pemuda Sukalillah akan belajar, bereksperimen, sekaligus berbagi pengetahuan tentang pertanian organik dengan menjunjung kearifan lokal.

Peternakan pun akan memperkuat aktivitas pertanian mereka. Fungsinya, kotoran hewan akan mereka olah sebagai pupuk organik. Lalu, ternak juga akan mengkonsumsi bagian tumbuhan yang kurang bernilai ekonomi. Fungsi lainnya, peternakan membantu memperkuat pondasi ekonomi para pemuda. Harapannya, pondasi ekonomi ini mampu mendukung aktivitas mereka di bidang sosial dan politik serta pembangunan desa.

Di lahan yang lebih tinggi, pemuda Sukalillah berencana untuk membangun hutan mata air. Hutan ini akan membantu menyimpan air hujan dalam tanah, sehingga lahan pertanian selalu mendapatkan suplai air yang cukup, khususnya di musim kemarau.

Bila laboratorium ini sudah cukup matang, pemuda Sukalillah berencana untuk membuka fasilitas ini kepada publik, khususnya pemuda desa di Jawa Barat. Di tempat ini, para pemuda bebas belajar bidang pertanian dan peternakan berbasiskan potensi desanya dengan menjunjung kearifan lokal di wilayahnya masing-masing.

Pemuda Tani Sukalillah tengah merawat tanaman jagung mereka-pikirkanrakyat.com
Pemuda Tani Sukalillah tengah merawat tanaman jagung mereka-pikirkanrakyat.com

Motivasi, Dukungan, dan Gotong Royong

Desa dengan pertanian, dan pemuda di dalamnya. Anehnya, di Indonesia, ketiganya tidak pernah saling cocok satu sama lain. Desa kerap memandang sebelah mata pemuda, karena dianggap belum cukup umur. Pemuda pun tak pernah melirik desa dan pertanian, lantaran pesan orang tua untuk meraih kehidupan yang lebih baik di kota. Pertanian selalu ada di antara keduanya: setia kepada desa, tetapi butuh pemuda.

Belajar dari Sukalillah, ketiganya harus mau saling menerima satu sama lain. Pemuda harus membuka mata kepada desa. Desa pun sebaiknya menerima pemuda dan mendukungnya untuk berkontribusi. Adapun pertanian harus mendamaikan keduanya dan mengingatkan bahwa ketiganya merupakan elemen yang saling membutuhkan.

Pemuda Sukalillah menunjukkan bahwa kuncinya ada pada tiga aspek, yaitu: Motivasi, Dukungan, dan Gotong Royong. Saya lebih senang menyebut rumusan tersebut sebagai MDG. Alasannya, supaya terkesan global a la Millenium Development Goals (MDG's). Adapun aktor utamanya adalah pemuda. Desa sendiri sebagai orang tua yang selalu mengayomi pemuda. Sedangkan Pertanian merupakan lahan pengabdian bagi pemuda desa.

Motivasi sendiri merupakan langkah paling pertama untuk membangun kesadaran pemuda tentang pertanian. Langkah ini termasuk yang paling krusial, menimbang para pemuda sudah jauh tercerabut dari aktivitas berbau tanah dan tumbuhan. Tanamkan kepada mereka bahwa bertani merupakan jati dirinya sebagai pemuda Indonesia. Pun tanamkan bahwa pertanian mampu memenuhi kantung rezeki mereka, baik yang bersifat lahir maupun batin.

Selanjutnya, Dukung para pemuda untuk mulai berkarya. Desa sangat berperan untuk memberikan dukungan menyeluruh kepada para pemuda, mulai dari dukungan moral, meminjamkan lahan desa, memodali benih dan pupuk, hingga mengirimkan para pemuda untuk mengikuti pelatihan pertanian. Dalam hal ini, dana desa bisa membantu untuk membangun kapasitas pertanian para pemuda.

Terakhir, bangun Gotong Royong, baik antara pemuda dan elemennya masyarakat lainnya di dalam desa, maupun para pemuda dan profesional di luar desa. Skema gotong royong ini akan sangat membantu meringankan beban para pemuda di desa, khususnya dari segi biaya, pengetahuan, maupun beban kerja. "Karena, gotong royong adalah jati diri warga Sukalillah, juga masyarakat Nusantara," ungkap Ipan. "Dan beginilah cara kami membangunnya," simpulnya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun