Tahun 1994. Siang atau sore sepulang kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya biasa naik bus kota jurusan Cibiru--Kelapa. Dalam kepenatan menjadi mahasiswi, saya tak langsung pulang. Ada tempat yang jadi "rumah kedua", tempat saya bekerja paruh waktu di sebuah usaha kuliner di Jalan Merdeka---gerai ayam goreng legendaris yang dikelola kakak beradik secara bergiliran.
Saya masih single, dan saat itu Gaji UMKM sebesar Rp250.000 per bulan terasa cukup untuk sekadar jajan, beli buku bekas, atau sekadar menabung koin mimpi. Tapi saya sering tertunduk haru saat melihat karyawan lain---para ibu dan bapak yang sudah punya tanggungan rumah tangga. Dengan penghasilan yang sama, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan dapur, sekolah anak, bahkan ongkos harian?
Kini UMKM itu telah tutup. Lahannya telah dijual ke pihak ketiga. Tapi kenangan tentang perjuangan di balik dapur panas dan antrean pelanggan itu masih hangat dalam ingatan saya. Saya tak pernah tahu bagaimana pemiliknya menghitung  Gaji UMKM kami, tapi saya tahu: mereka berusaha sekuat tenaga, dan kadang pilihan yang tersedia memang tak banyak.
Bertahun-tahun kemudian, saya dan lima orang adik menghidupkan warisan alm. Bapak---usaha kuliner tahu somay khas Bandung dan es teler. Kami menyewa tempat, membuka lapak di pusat jajanan, menggaji satu-dua karyawan. Jatuh bangun sudah kami lewati. Saat pandemi COVID-19 datang, usaha kami nyaris kolaps. Dengan berat hati, kami merumahkan karyawan. Bukan karena tak butuh bantuan mereka, tapi karena kami tak ingin menzalimi mereka dengan gaji yang tak manusiawi. Sejak saat itu, usaha dikelola sendiri oleh adik-adik saya. Ada asa tersendiri, jika suatu saat usaha kembali maju dan berkembang, kami akan merekrut karyawan lagi dengan standar  Gaji UMKM yang manusiawi.
Dari pengalaman ini, saya belajar: Â Gaji UMKMÂ bukan hanya soal angka. Ini tentang tanggung jawab, keadilan, dan keberlanjutan.
Realita Lapangan dan Tantangan Finansial
Menurut Prof. Dr. Sri Herianingrum dari UNAIR sebagaimana dilansir https://unair.ac.id/infografik-umkm-upah-layak-mimpi-atau-tantangan-nyata/  UMKM berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun sayangnya, banyak UMKM yang belum mampu memberikan upah layak sebagaimana layaknya  Gaji UMKM. Margin keuntungan tipis dan fluktuasi pasar membuat pelaku usaha kecil harus ekstra cermat menimbang antara kelangsungan usaha dan kesejahteraan karyawan.
Dalam konteks ini, fleksibilitas tentang  Gaji UMKM yang diberikan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 memang memberi sedikit napas lega. UMKM tidak diwajibkan membayar sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), tapi tetap harus memenuhi batas tertentu---setidaknya 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat atau 25% di atas garis kemiskinan di provinsi masing-masing.