Pagi itu, suasana RS Edelweis terasa hening, hanya suara langkah perawat dan dentingan alat medis sesekali memecah keheningan. Tia duduk bersandar di kursi roda, menunggu jadwal screening untuk tindakan secretome, penyuntikan zat peremajaan di kedua lututnya. Di tangannya, tergenggam sebuah buku doa yang lusuh, hadiah dari seorang sahabatnya.
Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah cerah dan mata berbinar masuk sambil membawa sebuket bunga mawar merah dan sekotak kue kecil.
“Barokallohu fie umrik, BEStie!” ucap Yuni dengan senyum lebar.
Tia tertawa pelan. “Ulang tahun ke-50 dirayakan di rumah sakit, ini pasti edisi spesial,” katanya setengah bercanda, setengah lirih menahan nyeri.
Yuni duduk di sampingnya, menggenggam tangan Tia erat. “Ah, jangan sedih. Usia 50 itu bukan sekadar angka. Ini usia emas, waktu terbaik untuk muhasabah, mengingat betapa banyaknya nikmat yang sudah Allah swt beri.”
Tia menatap lantai. “Tapi kenapa harus diiringi lutut yang semakin aus? Dr. Dadang bilang hasil MRI-nya... bukan sekadar nyeri biasa, tapi memang aus...di atas osteoartritis ”
Yuni tersenyum, kali ini lebih lembut. “Mungkin ini cara Allah bilang, ‘Cukup dulu, Tia, jangan terlalu banyak berlari. Sudah saatnya kau belajar terbang tanpa kaki—dengan karya, doa, dan makna.’”
Diam sejenak. Angin dari AC berdesir lembut. Tia menatap wajah sahabatnya, lalu berbisik, “Kamu tahu, aku iri. Kamu masih bisa berjalan cepat, bahkan mendaki gunung kalau mau. Aku... hanya bisa duduk di sini, menunggu tindakan, berharap bisa berjalan tanpa suara ‘krek’ di lutut.”
“Jangan iri,” jawab Yuni, masih menggenggam tangannya. “Setiap orang punya jalan masing-masing. Aku pun iri sama kamu. Di tengah sakit, kamu tetap berkarya, tetap menginspirasi. Bahkan di tengah perih, kamu masih sempat mengingatkan kami semua tentang arti bersyukur.Di manapun dan kepada siapapun dirimu senantiasa memberikan kebahagian, sesuai namamu”
Yuni tersenyum. “Jangan menaruh harapan besar kepada anak-anak kita, ya...”