Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Akademisi dan aktivis keterbukaan informasi publik. Tenaga Ahli Komisi Informasi (KI) Prov Jabar, mantan Komisioner KPU Kab Bandung dan KI Prov Jabar. Dosen, alumni IAIN Bandung dan S2 IKom Unpad ini juga seorang mediator bersertifikat, legal drafter dan penulis di media lokal dan nasional. Aktif di ICMI, Muhammadiyah, dan 'Aisyiyah. Menulis sebagai bentuk advokasi literasi kritis terhadap amnesia sosial, kontrol publik, dan komitmen terhadap transparansi, partisipasi publik, dan demokrasi yang substantif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Lutut Pengajar Syukur

22 Mei 2025   00:50 Diperbarui: 22 Mei 2025   07:17 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buket Bunga Mawar Merah (Sumber: https://www.tokopedia.com/)

Pagi itu, suasana RS Edelweis terasa hening, hanya suara langkah perawat dan dentingan alat medis sesekali memecah keheningan. Tia duduk bersandar di kursi roda, menunggu jadwal screening untuk tindakan secretome, penyuntikan zat peremajaan di kedua lututnya. Di tangannya, tergenggam sebuah buku doa yang lusuh, hadiah dari seorang sahabatnya.

Tiba-tiba, pintu ruang tunggu terbuka. Seorang perempuan paruh baya dengan wajah cerah dan mata berbinar masuk sambil membawa sebuket bunga mawar merah dan sekotak kue kecil.

Barokallohu fie umrik, BEStie!” ucap Yuni dengan senyum lebar.

Tia tertawa pelan. “Ulang tahun ke-50 dirayakan di rumah sakit, ini pasti edisi spesial,” katanya setengah bercanda, setengah lirih menahan nyeri.

Yuni duduk di sampingnya, menggenggam tangan Tia erat. “Ah, jangan sedih. Usia 50 itu bukan sekadar angka. Ini usia emas, waktu terbaik untuk muhasabah, mengingat betapa banyaknya nikmat yang sudah Allah  swt beri.”

Tia menatap lantai. “Tapi kenapa harus diiringi lutut yang semakin aus? Dr. Dadang bilang hasil MRI-nya... bukan sekadar nyeri biasa, tapi memang aus...di atas osteoartritis ”

Yuni tersenyum, kali ini lebih lembut. “Mungkin ini cara Allah bilang, ‘Cukup dulu, Tia, jangan terlalu banyak berlari. Sudah saatnya kau belajar terbang tanpa kaki—dengan karya, doa, dan makna.’”

Diam sejenak. Angin dari AC berdesir lembut. Tia menatap wajah sahabatnya, lalu berbisik, “Kamu tahu, aku iri. Kamu masih bisa berjalan cepat, bahkan mendaki gunung kalau mau. Aku... hanya bisa duduk di sini, menunggu tindakan, berharap bisa berjalan tanpa suara ‘krek’ di lutut.”

“Jangan iri,” jawab Yuni, masih menggenggam tangannya. “Setiap orang punya jalan masing-masing. Aku pun iri sama kamu. Di tengah sakit, kamu tetap berkarya, tetap menginspirasi. Bahkan di tengah perih, kamu masih sempat mengingatkan kami semua tentang arti bersyukur.Di manapun dan kepada siapapun dirimu senantiasa memberikan kebahagian, sesuai namamu”

Yuni tersenyum. “Jangan menaruh harapan besar kepada anak-anak kita, ya...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun