Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

8 Januari 2015   16:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Selalu menarik berbicara soal pendidikan di Indonesia. Saya bukan seorang praktisi atau pengamat pendidikan. Meski demikian, saya tertarik untuk mencermati apa yang terjadi berkaitan dengan pendidikan era menteri pendidikan Anies Bawesdan, walau kadang sekefar pembicaraan di warung kopi.

Melalui surat bernomer 179342/MPK/KR/2014 tertanggal 5 Desember 2014 yang ditujukan kepada kepala-kepala sekolah,Anies Bawesdan memutuskan:

1. Menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015. Sekolah-sekolah ini supaya kembali menggunakan Kurikulum 2006. Bagi Ibu/Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, mohon persiapkan sekolah untuk kembali menggunakan Kurikulum 2006 mulai semester genap Tahun Pelajaran 2014/2015. Harap diingat, bahwa berbagai konsep yang ditegaskan kembali di Kurikulum 2013 sebenarnya telah diakomodasi dalam Kurikulum 2006, semisal penilaian otentik, pembelajaran tematik terpadu, dll. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi guru-guru di sekolah untuk tidak mengembangkan metode pembelajaran di kelas. Kreatifitas dan keberanian guru untuk berinovasi dan keluar dari praktik-pratik lawas adalah kunci bagi pergerakan pendidikan Indonesia.

2. Tetap menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang telah tiga semester ini menerapkan, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan menjadikan sekolah-sekolah tersebut sebagai sekolah pengembangan dan percontohan penerapan Kurikulum 2013. Pada saat Kurikulum 2013 telah diperbaiki dan dimatangkan lalu sekolah-sekolah ini (dan sekolah-sekolah lain yang ditetapkan oleh Pemerintah) dimulai proses penyebaran penerapan Kurikulum 2013 ke sekolah lain di sekitarnya. Bagi Ibu dan Bapak kepala sekolah yang sekolahnya termasuk kategori ini, harap bersiap untuk menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013. Kami akan bekerja sama dengan Ibu/Bapak untuk mematangkan Kurikulum 2013 sehingga siap diterapkan secara nasional dan disebarkan dari sekolah yang Ibu dan Bapak pimpin sekarang. Catatan tambahan untuk poin kedua ini adalah sekolah yang keberatan menjadi sekolah pengembangan dan percontohan Kurikulum 2013, dengan alasan ketidaksiapan dan demi kepentingan siswa, dapat mengajukan diri kepada Kemdikbud untuk dikecualikan.

Kurikulum 2013 diterapkan di 6.221 sekolah sejak Tahun Pelajaran 2013/2014 dan di semua sekolah di seluruh tanah air pada Tahun Pelajaran 2014/2015. Sementara itu, Peraturan Menteri nomor 159 Tahun 2014 tentang evaluasi Kurikulum 2013 baru dikeluarkan tanggal 14 Oktober 2014, yaitu tiga bulan sesudah Kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh Indonesia. Keputusan itu (sebagaimana dikeluarkan Anies) diambil setelah melalui proses evaluasi oleh tim evaluasi implementasi kurikulum dan juga aneka diskusi.

Yang menarik bagi saya justru implikasi dari surat keputusan ini. Berdasarkan informasi dari beberapa guru, ada upaya untuk memaksakan kurikulum 2013 (kurtilas) di berbagai tempat. Bahkan, Federasi Serikat Guru Indonesia telah menerima laporan dari berbagai daerah (Kedaulatan Rakyat, 6 Januari 2014). Disebut pemaksaan karena dalam surat tersebut jelas disebutkan sekolah mana yang bisa melanjutkan penggunaan kurtilas. Sekolah yang bisa menerapkan kurtilas adalah sekolah yang telah tiga semester menerapkan kurikulum ini. Sementara sekolah yang belum tiga semester, kembali ke kurikulum 2006.

Dari berita di Kedaulatan Rakyat, yang mengajukan persoalan diantaranya adalah kabupaten Kulonprogo, kabupaten Bantul, dan Kota Jogja. Ada beberapa guru di kabupaten Sleman yang menceritakan problematika kurtilas dan implementasi surat Mentri Pendidikan. Tetapi mengapa tidak ada catatan atau laporan dari Sleman? Jangan-jangan ada upaya-upaya tertentu untuk memuluskan pelaksanaan kurtilas. Jika ya, untuk apa?

Sebuah pertanyaan menarik untuk didiskusikan: mengapa ada daerah-daerah yang tetap ngotot menerapkan kurtilas meski ada persoalan atasnya? Persoalan itu terutama berkaitan dengan SDM guru dan sarana pendukung yang kurang memadai. Ada seorang guru bercerita bagaimana susahnya memberikan penilaian kepada peserta didik. Berhari-hari ia mencermati lembaran-lembaran nilai dan kerja lembur untuk menyelesaikannya. Sementara ada rekan guru lain yang tenang-tenang saja. Selidik punya selidik, rupanya ada bantuan mengisi lembaran-lembaran nilai itu dengan memberikan sejumlah uang. Di balik kurtilas, ada bisnis pembuatan nilai.

Dari pembuatan nilai saja ada bisnis yang menggiurkan, bagaimana dengan segi-segi yang lainnya? Misalnya pembuatan buku pegangan. Salah satu pendukung pendidikan adalah berbagai jenis buku pegangan yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Untuk satu tema pelajaran, diperlukan buku pegangan. Jika kurtilas dibatalkan, berapa kerugian yang akan ditanggung? Buku-buku pegangan sudah terlanjur dipesan di percetakan. Apakah ada keterkaitan antara kengototan penerapan kurtilas dengan bisnis-bisnis seperti ini? Faktanya, ada sekolah yang akhirnya harus menerapkan “diskon”. Satu buku untuk berdua. Jika demikian, apakah daya serap peserta didik bisa maksimal? Tentu bukan hal sulit untuk membuktikannya. Tetapi siapa berani mengangkat persoalan ini ke permukaan?

Saya hanya bisa membayangkan, andai kata kurtilas diterapkan dengan seenaknya maka yang akan menjadi korban adalah guru dan peserta didik. Atas kurikulum 2006 saja, masih ada guru yang belepotan menerapkannya. Bagaimana mereka harus menerapkan kurtilas yang menuntut kerja keras lebih? Sementara, pendampingan dan penataran yang diterima sangatlah minim.

Anies pun melihat fenomena seperti ini. Sedangkan masalah teknis penerapan seperti berbeda-bedanya penyediaan buku pun belum tertangani dengan baik. Anak-anak, guru dan orang tua pula yang akhirnya harus menghadapi konsekuensi atas ketergesa-gesaan penerapan sebuah kurikulum. Segala permasalahan itu memang ikut melandasi pengambilan keputusan terkait penerapan Kurikulum 2013
kedepan, namun yang menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan ini adalah kepentingan anak-anak kita.”

Kepentingan, baik diri sendiri atau pun kelompok, seringkali membuat orang buta. Pendidikan yang sejatinya untuk mencerdaskan bangsa bisa berubah arahnya ketika disisipi oleh berbagai kepentingan. Bahkan, keputusan yang telah dibuat oleh Anies sebagai Menteri Pendidikan pun tidak dilaksanakan di tingkat bawahnya. Jika sudah demikian, tidak peduli lagi akan masa depan anak-anak. Padahal surat edaran Menteri Pendidikan telah diperkuat dengan menerbitkan peraturan menteri, yaitu Permendikbud 160/ 2014.Sebuah payung hukum yang tepat. Namun, mengapa masih ada yang ngotot?

Jika karena faktor kepentingan, bolehlah kita bertanya: quo vadis pendidikan Indonesia?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun