Mohon tunggu...
yswitopr
yswitopr Mohon Tunggu... lainnya -

....yang gelisah karena sapaan Sang Cinta dan sedang dalam perjalanan mencari Sang Cinta

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rohaniwan = Pencuci Otak?

17 Desember 2013   10:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entahlah, mengapa akhir-akhir ini saya menjadi sensitif di Kompasiana. Semoga saja, rasa ini tidak mengurangi cara berlogika saya sehingga masih bisa menempatkan dan mendudukkan persoalan dengan baik dan berimbang.

Ketika membaca tulisan mbak Ester Lima mengenai “jangan malu hamil di luar nikah”, saya menemukan ada sebuah ide dan pemikiran yang bagus. Atas tulisan itu, saya menemukan benang merah yang sederhana: faktanya ada sekian banyak orang yang mengalami kehamilan di luar nikah. Sebagian besar dari mereka ini merasa malu ketika ketahuan hamil di luar nikah. Beberapa jalan yang biasanya ditempuh: menikah atau diam-diam menggugurkan atau cara lain. Tidak semua yang mengalami kehamilan di luar menikah bisa menikah (berkaitan dengan pemahaman mengenai pernikahan itu sendiri). Tidak semua orang mau menggugurkan. Lalu?

Pada tataran ini tulisan mbak Ester Lima hendak ditempatkan. Memberikan pemikiran atas apa yang hendaknya dilakukan oleh orang yang mengalami kehamilan di luar nikah dan oleh masyarakat. Ajakannya jelas: bagi yang hamil di luar nikah: jaga kehamilannya. Bagi masyarakat: jangan mudah memberikan cap negatif atau bahkan menghakimi mereka yang kedapatan hamil di luar nikah. Rengkuh mereka dan dampingilah mereka sehingga siap melahirkan anaknya, meski tanpa bapak.

Dengan cara berbeda, tulisan INI bernada sama dengan tulisan mbak Ester Lima. Cara pengungkapannya saja yang berbeda.

Rupanya gagasan seperti itu ditangkap secara berbeda. Dugaan saya, hal ini terjadi bukan karena isi tulisannya tetapi lebih kepada persoalan pribadi. Karena tidak suka pada penulisnya, maka apa pun yang ditulisnya harus diserang.

Mungkin wajar tindakan seperti ini. Namun menjadi berlebihan ketika kehilangan daya nalarnya. Logisnya, kita akan marah ketika ada sebagian kecil dari apa yang kita yakini (oknum) dianggap sebagai keseluruhan. Contoh yang sedikit sensitif: mungkin kita marah ketika ada yang mengidentikkan FPI dengan Islam, bukan? Yang marah tentu saja mereka yang menganggap FPI itu sebagian kecil (oknum) dari Islam sehingga tidak bisa digebyah uyah sama dengan Islam. Jika anda setuju dengan contoh saya ini, apa yang ada di benak anda ketika menjumpai komentar seperti ini:

[caption id="attachment_284367" align="aligncenter" width="620" caption="untung ada wkwkwkwkwk-nya. leluconkah?"][/caption]

Sebuah komentar yang menarik. Dengan sedikit gegabah, komentar ini bisa diartikan sebagai berikut: rohaniwan = pencuci otak. Karenanya muncul ajakan untuk datang ke tempat yang bisa mendampingi orang-orang yang hamil sebelum nikah. Mengapa? Karena di tempat itu ada pendampingan rohaniwan. Pendapat umum merujuk kata rohaniwan kepada kedudukan tertentu dalam agama yang tertentu, biasanya agama Katolik atau Kristen. Ketika seorang rohaniwan mendampingi sorang yang hamil di luar nikah, tentu ia akan mendampingi rohani orang tersebut sehingga siap menghadapi kehamilannya itu. Faktanya, seorang rohaniwan juga mempelajari psikologi sehingga pendampingan rohani sekaligus pendampingan psikologis. Jadi dalam sudut pandang yang unik, rohaniwan mencuci otak orang didampinginya supaya bisa lepas dari stigma negatif hamil di luar nikah dan siap menghadapinya dengan kepala tegak. Tapi, saya yakin, komentar tersebut tidak berada dalam koridor seperti yang saya jelaskan itu.

Bagaimana dengan komentar seperti ini?

[caption id="attachment_284368" align="aligncenter" width="620" caption="ada pepatah mengatakan: mulutmu harimaumu"]

1387249170220395810
1387249170220395810
[/caption]

Silahkan Anda sendiri yang membuat kesimpulan atas komentar-komentar seperti itu. Saya tidak mampu membuat argumen berkaitan dengan komentar ini. Saya sedang sensitif sehingga komentar-komentar seperti ini menarik saya untuk membuat artikel seperti ini.

Kita bisa belajar, jika tidak senang dengan orangnya, dengarkan petuahnya. Siapa tahu ada petuah bagus yang bisa dipakai sebagai bahan permenungan. Ketidaksukaan membabi buta bisa membawa kita pada persoalan yang lain.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun