Mohon tunggu...
Yeni Sahnaz
Yeni Sahnaz Mohon Tunggu... Penulis - Junior

Seorang lansia yang senang bertualang di belantara kata-kata dan tidak suka pakai kacamata kuda dalam menyelami makna kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Merajut Kenangan di Rangkasbitung

3 September 2022   11:55 Diperbarui: 2 Juli 2023   20:53 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Masih lekat dalam ingatan  saat aku berusia 6 tahun diajak ibu mendaftar ke sebuah sekolah. Pagi hari aku sudah mandi dan bersiap untuk pergi. Kukenakan baju bagus berwarna dasar putih dengan bunga-bunga oranye dan hijau berenda yang dijahit ibu serta sepatu pantovel berwarna hitam. Di atas tempat tidur kupandangi ibu yang sedang mematut diri, mengenakan kain batik berwiron, melilitkan stagen panjang di pinggangnya lalu mengenakan kebaya brokat warna ungu. Ibu merapikan rambutnya yang tebal bergelombang lalu dipasangi kerudung brokat panjang warna keemasan . Terakhir seulas bedak disapukan ke wajahnya yang berwarna kuning langsat. Selama menunggu ibu berdandan, kucium aroma tubuh ibu yang harum semerbak berasal dari pakaian yang dikenakannya. Ibu terbiasa mencuci pakaian dibilas dengan air daun nilam yang tumbuh di halaman. Di lemari pakaian juga ibu menaruh kipas yang terbuat dari akar wangi untuk mengharumkan pakaian.

Selanjutnya aku dituntun ibu menuju ujung gang dimana abang becak biasa mangkal. Ibu membantuku duduk di jok becak, sepanjang jalan aku duduk manis dan terkadang berdiri sambil dipegangi oleh ibu. Becak kami berhenti di sebuah sekolah, " SD Negeri  2 Rangkasbitung," kubaca plang putih dengan tulisan hitam di dekat pintu gerbang. Sekolah tersebut terletak tidak jauh dari kantor Bupati dan alun-alun. Kami berjalan menuju sebuah ruang kelas, di sana sudah banyak anak-anak sebayaku yang berkumpul bersama orangtuanya. Satu persatu nama kami dipanggil ke depan kelas lalu oleh bu guru diminta melingkarkan tangan kanan ke atas kepala untuk memegang telinga sebelah kiri. Ibu tersenyum ketika tanganku berhasil memegang telinga lalu terlonjak riang sambil berkata, " Bisaa!" Itulah momen indah saat aku tahu telah resmi diterima bersekolah.

Hari-hari berikutnya aku menjalani bersekolah dengan suka cita. Para murid pergi ke sekolah  tidak mengenakan seragam dan bersepatu, alas kaki yang murid kenakan hanya sandal saja. Guru mengajar murid calistung mulai dari dasar dengan penuh kesabaran. Beberapa guru perempuan yang telah berumur mengajar dengan mengenakan kebaya dan sebagian guru yang masih muda mengenakan gaun.

------------------------------

Di halaman sekolah ada pohon sawo yang besar dan rimbun  dimana bu Mimik mangkal berjualan buras (lontong dibungkus daun pisang) pakai sambal kacang, opak singkong dan  'gula palu.'  Gula palu adalah jajanan favoritku karena unik dan menakjubkan dimana gula aren dipanaskan berubah menjadi kental dan lengket lalu ditarik  terus menerus pakai jari hingga terjadi perubahan warna, suhu dan kekentalan, kemudian dilekatkan ke sumpit kayu sambil jempol tangan ditempelkan. Tidak lama gula akan mengeras dan kering maka jempol siap dilepaskan. Gula palu berubah bentuknya menjadi seperti sarang tawon yang selanjutnya dinikmati sambil dijilat-jilat.

Jika jam istirahat tiba, selain jajan di bu Mimik, aku suka ngeloyor menerobos pagar hidup pembatas  menuju ke sebuah rumah di belakang sekolah yang dihuni sepasang suami istri sudah sepuh "Ibu dan bapak masinis," nama panggilannya. Rumah tersebut amat teduh dinaungi pohon lobi-lobi,  jambu air dan mangga. Aku senang memunguti buah-buah yang berjatuhan lalu dimakan tanpa dicuci, cukup di lap ke baju saja. Hingga saat ini aku masih bisa merasakan nikmatnya sensasi mengulum buah lobi-lobi dan mangga pentil yang masam dan getir, padahal di rumah sendiri banyak pohon buah tapi aku tidak tertarik untuk menikmati. Sensasi berikutnya adalah saat aku dipergoki pemilik rumah, dari jauh beliau berteriak menghardik sambil membawa sapu lidi. Aku berlari kencang menerobos pagar kembali ke sekolah. Sambil berjalan menuju kelas aku ngegerundel ga habis pikir kenapa digubrak-gubrak ibu sepuh padahal ga manjat pohon buahnya alias nyolong.

Rumah Cantik

Di depan sekolah ada rumah cantik yang memikat perhatian, rumah besar bercat putih dengan halaman luas dipenuhi tanaman buah dan bunga-bunga. Aku suka memandangi rumah tersebut sambil berhayal, kelak ingin memiliki rumah seperti itu. Sesekali aku suka mengambil bunga alamanda kuning cantik yang lebat menjalar di pagarnya.

Suatu hari ibu mengajakku pergi berjalan-jalan, ternyata menuju ke rumah yang aku idamkan. Kami disambut sepasang suami istri yang sudah sepuh "Pa Ukon dan bu Ukon," nama panggilannya. Selama ibu mengobrol dengan tuan rumah biasanya pakai bahasa Belanda, aku leluasa menjelajahi rumah tersebut sambil mengamati ruang demi ruang yang keseluruhannya sangat bersih dan rapih. Dinding dan kusen rumah dipoles cat berwarna putih, ubinnya yang hitam licin dan bersih, kaca jendelanya yang besar berkila-kilau tanpa noda. Kala berpamitan ibu dibekali segepok majalah dan koran. Dalam perjalanan pulang aku menginterogasi ibu dengan banyak pertanyaan diantaranya, Pa Ukon kerja dimana? Kenapa beliau bisa  punya rumah indah dan kita tidak? Kata ibu, pa Ukon mantan kepala onderneming perkebunan karet.

Terinspirasi oleh rumah indah di depan sekolah, mendorongku untuk menuangkan imajinasi merancang rumah idaman. Pada jam istirahat, Aku  sering menuju halaman belakang sekolah mencari area yang ada tanah halus dan kering. Dengan kedua tangan aku membentuk tanah halus menjadi dinding sebuah rumah dengan masing-masing ruangan lengkap dengan perabotannya. aku senang mendesain rumah dengan empat kamar dan tiga teras yaitu teras depan, teras belakang dan teras samping  dimana masing-masing teras menghadap ke taman.

Awalnya aku bermain sambil berbicara sendiri menghidupkan dialog antar  tokoh penghuni rumah dalam imajinasi, terdiri dari sepasang suami istri dengan dua orang anak laki-laki dan perempuan. Mengapa hanya dua tokoh anak? Itulah impianku yang ingin memiliki keluarga kecil agar rumah terasa damai. Mengingat aku berasal dari keluarga besar, rumah kami sulit dirapikan dan berisik karena sering dikunjungi banyak tamu yang mengobrol dengan suara kencang (ini salah satu ciri khas orang Banten yang mengekspresikan keakraban saat mengobrol dengan suara kencang seperti sedang bertengkar). Untuk menghindari kebisingan aku sering mengungsi ke halaman belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan. Adalah pohon buah nona menjadi favoritku karena tidak terlalu tinggi dan bisa memandang ke arah sungai dan kebun-kebun. Dahan-dahannya menyangga tubuhku dengan nyaman, tidak ada serangga yang mengganggu hingga aku bisa nongkrong di atas pohon berjam-jam sambil berkontemplasi, makan, tiduran dan baca buku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun