Mohon tunggu...
Y Rosandi
Y Rosandi Mohon Tunggu... -

let's make the world a bit better

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Milik Siapa?

25 Agustus 2013   19:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan harus dikuasai oleh negara. Negara harus memiliki program, proyeksi masa depan, mengenai apa yang bangsa ini akan hasil dapatkan dari semua proses pendidikan. Dengan demikian adalah satu kesalahan jika negara mengabaikan anak-anak yang kurang mampu bersaing secara akademik untuk besekolah di sekolah negeri, dan memprioritaskan anak pintar saja. Sekolah negeri seharusnya lebih accessible bagi semua tingkat intelegensi anak.

Saat ini yang menjadi kendala adalah biaya. Orang tua ingin memasukkan anak ke sekolah negeri karena biayanya lebih kecil dibanding sekolah swasta. Ini sebenarnya aneh, karena pada kenyataannya sekolah swasta itu lebih mahal akan tetapi kebanyakan juga lebih buruk dipandang dari segi kualitasnya. Sayangnya di sekolah negeri ternyata hanya biaya masuk saja yang lebih murah, sedangkan beberapa biaya operasional harus juga dikeluarkan oleh orang tua, untuk menambal kenyataan bahwa kualitas belajar mengajar di sekolah negeri yang tidak memadai. Akhirnya biaya sekolah tetap mahal.

Ketika negara tidak memperhitungkan berapa anak yang butuh sekolah, jenis sekolah yang diperlukan, sesuai dengan demografi masyarakat, maka terjadi ketimpangan. Disinilah kemudian masyarakat, dengan awal niat yang tulus, mengisi lubang yang tidak mampu diisi oleh negara. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat orang-orang dengan hati mulia ingin ikut membantu pemerintah. Kemudian sayangnya pemerintah, dalam hal ini depdikbud, terpesona dan lalai, merasa bahwa daftar tugasnya berkurang dengan bantuan masyarakat.

Jika dilihat lebih jeli, keterlambatan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan, dan jumlah sekolah yang memadai adalah bumerang bagi perkembangan bangsa secara kesuluruhan. Program pendidikan anak bangsa menjadi kabur, karena hampir semua pendidikan inisiatif masyarakat memiliki misi tertentu. Misi ini diantaranya ekonomi, agama, ethnik, dan juga tidak dapat dikesampingkan itikad baik. Pendidikan dengan misi ekonomi adalah seperti "perusahaan pendidikan" yang 100% dana didapat dari peserta didik. Peserta jenis sekolah ini kebanyakan orang-orang berada, yang melihat pendidikan yang dilaksanakan pemerintah tidak memadai untuk anak-anaknya. Sekolah ini seringkali dikenal dengan sekolah elit. "Elit" diterjemahkan sebagai status orang tua peserta didik.

Lembaga pendidikan dengan misi agama, memiliki tujuan sampingan yang lain, yakni memberikan bobot lebih dari aspek agama pada peserta didik. Lembaga dengan misi ini biasanya berhubungan dengan organisasi keagamaan (sekte, aliran, dll), dengan pendanaan  tidak hanya dari peserta didik, tapi juga dari masyarakat yang terhimpun dalam organisasi tersebut. Sebagai imbalan bagi organisasi, maka doktrin-doktrin organisasi harus pula diterapkan langsung ataupun tidak, pada peserta didik.

Pendidikan dengan misi etnik memiliki kemiripan dengan agama dari segi operasional, akan tetapi memiliki bobot misi lain, yakni untuk mempertahankan kebudayaan dan adat dari etnik tertentu. Beberapa kumpulan dan organisasi mendirikan pula sekolah karena melihat kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh negara. Beberapa mengambil misi agama, etnik, dan juga murni sebagai kontribusi dia terhadap bangsa (itikad baik), dengan tidak menambah bobot doktrin agama ataupun etnik dalam sistem pendidikannya.

Pemerintah (baca: depdikbud) sangat terbantu dengan adanya sekolah-sekolah ini. Dan pak mentri bisa tersenyum karena todo-list yang dia miliki berkurang. Akan tetapi ketika jumlah sekolah swasta lebih banyak dari sekolah negeri, seharusnya beliau tidak dapat tersenyum. Ketika sekolah negeri menerima anak-anak pintar saja dan menolak anak yang kurang cerdas, seharusnya beliau mulai garuk-garuk kepala. Ini menunjukkan bahwa negara gagal dalam memberikan pendidikan layak bagi rakyat, sesuai dengan janjinya dalam undang-undang dasar.

Ketika negara memilah-milah sekolah dengan predikat-predikat tertentu (vaporit, passing-grade, kluster, RSBI, SBI) terhadap sekolah negeri, berarti negara mulai memilah-milah rakyat dalam beberapa tingkatan. Dia tidak melihat sistem pendidikan sebagai sistem yang integral dengan seluruh aspek kehidupan bangsa, yang menentukan nasib bangsa di masa yang akan datang. Dia mulai me-marginal-kan orang-orang lemah secara akademik, dan memprioritaskan orang-orang mampu. Mampu secara akademik, mampu secara ekonomi. Pendidikan pertama yang diterima oleh anak bangsa: saya mampu dan kamu tidak. Negara semestinya menjadi harapan terakhir bagi masyarakat. Ketika anak-anak mereka tidak dapat masuk sekolah bagus (yang semestinya sekolah swasta, baca: private school), maka sekolah negeri mau-tidak mau harus menerima mereka. Karena itu tujuan dibentuk sekolah negeri, menyediakan sekolah untuk semua anak negeri. Sekolah negeri tidak boleh pilih-pilih siswa, dan anak-anak sekolah sesuai dengan domisili tempat tinggalnya. Kuncinya, pemerintah harus menjamin standard sarana yang sama untuk semua sekolah.

Apa yang harus dilakukan? Karena saat ini kita tidak dapat terlepas dari pergaulan internasional, maka kaidah-kaidah yang berlaku secara internasional harus menjadi prioritas. Pokok-pokoknya sudah ditetapkan oleh UNESCO, yang semestinya bangsa kita menerimanya secara murni. Tidak perlu menterjemahkan ulang dan menambah-nambah sehingga dapat mengaburkan makna aslinya. Ini adalah langkah pertama.

Langkah kedua, penyelengara pendidikan harus memiliki gambaran, ingin seperti apa sikap dan perilaku anak dalam masyarakat. Ada dua pilihan besar: apakah dalam 12 tahun mereka harus menjadi masyarakat homogen dan berfikiran sempit, atau menjadi anak-anak toleran, heterogen, saling mengenal dan berfikiran terbuka. Jika kita ingin bergaul secara baik dengan bangsa-bangsa lain di dunia, maka pilihan kedua yang seharusnya diambil. Langkah ini menerapkan etika universal kepada anak-anak, yang kemudian akan menentukan pula sikap bangsa lain terhadap bangsa ini. Etika yang baik, menjadikan bangsa kita terhormat. Hal ini jangan disalah artikan, yang kemudian menciptakan doktrinasi anak-anak dan menerapkan hanya nilai kebaikan dari fihak tertentu saja. Pendidikan etika dan penanaman kepribadian cukup dilakukan pada tahap-tahap pendidikan dasar dan menengah, dengan contoh-contoh yang baik dari lingkungan, sehingga tertanam dalam diri anak-anak. Pengulangan berlebihan dari jenis pendidikan  ini (ideologi, agama, dll) akan merubah pendidikan menjadi doktrin. Ini kontra-produktif, karena ketika sudah jenuh beberapa akan mengangap hanya sebagai teori belaka yang patut dihafalkan, apalagi jika disertai dengan contoh-contoh buruk yang dilihat di masyarakat. Etika dan kepribadian tidak terlihat dari bagaimana orang menjelaskannya, akan tetapi dari bagaimana orang melakukannya.

Penyelenggara pendidikan (baca: negara) kemudian harus mampu untuk menghitung kebutuhan sekolah, sesuai dengan demografi masyarakat. Dari data demografi, dapat ditentukan dimana saja lokasi yang baik untuk membangun sekolah. Sekolah hendaknya tersebar sesuai dengan sebaran populasi penduduk dan dengan data umur anak-anak. Pemerintah mutlak harus melakukan ini, tidak boleh menunggu masyarakat berswadaya membuat sekolah. Keterlambatan akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari. Sekolah negri bukan dibangun untuk tempat belajar anak pilihan saja, akan tetapi untuk semua anak (SD, SMP dan SMA/K).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun