Mohon tunggu...
Yoza Fitriadi
Yoza Fitriadi Mohon Tunggu... Guru - Sang Penjejak

Seorang Guru yanghobi menulis dan bercerita tentang apapun pada alam sekitar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lepas, Pisah, dan Wisuda

10 Juli 2020   17:42 Diperbarui: 10 Juli 2020   17:38 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kau sebut itu pelepasan? Benar, karena memang ada yang dilepas. Bukan sekedar topi, dasi atau atribut. Melainkan juga status sebagai siswa dengan segala kenyamanan berseragam putih abu-abu yang elegan.

Kau sebut itu perpisahan? Tepat, karena memang ada yang berpisah. Tak hanya raga yang diberi jarak. Tapi juga segala memoar cerah berseling kelam yang ikut menguap dari muara sebab muasal.

Kau sebut itu wisuda? Pun tak salah, karena memang ada samir yang terpasang dengan nilai akhir studi yang digenggam. Tiga tahun perjuangan itu akhirnya terbayar lewat selembar ijazah tanda ketuntasan.

Semestinya ada upacara yang melepasnya, euforia yang menjadi tanda memisahkannya ataupun prosesi sakral tanda selesainya pelajaran di sekolah. Sirna, ditelan pandemic covid-19 yang enggan jua untuk berdamai.

Tak ada iringan band atau organ tunggal, berganti dengan sound system ala kadarnya sebaai backsound lagu penghantar. Orangtua pun tak diajak, hanya perwakilan satu atau dua dari seratusan wisudawan. Pun demikian dengan acara yang dirancang sederhana, menghindari keramaian berlebihan dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan dengan masker atau face shield dan menjaga jarak atau physical distancing.

Tapi percayalah, dua hari ini adalah moment yang sebenarnya tak kalah berkesan dengan tahun-tahun sebelumnya. Nuansa khidmat lebih terasa karena ruang kelas berhasil meredam cinta dan kasih sayang itu agar tak cepat menguap. Rintik kenangan yang perlahan menjalar lebih terasa, merambat pelan menghinggap sel-sel syaraf hingga pembuluh darah.

Seperti kata Fiersa Besari, bahwa perpisahan itu semanis atau seindah apapun tetaplah perpisahan. Ada cerita yang sejak detik itu harus berubah menjadi kenangan.

Lain lagi dengan kata Pidi Baiq lewat Dilannya. Bahwa perpisahan itu adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu. Bukan perpisahannya yang menyedihkan, melainkan bila habis itu saling lupa lah yang lebih menimbulkan keperihan.

Hingga benar kata Tere Liye. Tak ada yang pergi dari hati, tak ada yang hilang dari kenangan. Ketika kita percaya bahwa tak ada satupun kehilangan yang direncanakan, maka selayaknya kita juga paham bahwa perpisahan pun demikian.

Selamat berpisah karena kalian telah dilepas wahai para wisudawan. Jangan sekalipun melupakan almamater ini. Karena sama seperti saat kalian bertanya mengapa aku tak suka timun, aku bingung dengan alasan apa harus kujawab.

Karena ada beberapa hal yang tak butuh alasan untuk dilakukan. Sama halnya dengan tak perlu alasan untuk menggantungkan rindu pada Smekta.

Esok lusa kalian mungkin tak lagi ingat tentang ribetnya rumus logaritma, rumitnya teori atom atau hukum pasca, ataupun majas dalam ilmu sastra. Kalian boleh melupakan apapun, asal jangan tentang hari-hari indah menggelayuti waktu yang terlewatkan.

Curup, 10 Juli 2020

Di Bawah Langit Smekta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun