Setelah menyelesaikan tour di Belanda, saya memimpin turis Indonesia rombongan saya ke Paris. Tujuan pertama adalah Menara Eiffel. Dan seperti turis-turis Indonesia sebelumnya, tidak ada satu pun yang mau mendengar sejarah Eiffel. Mereka merasa cukup kalau sudah berfoto dengan Menara Eiffel sebagai  latar belakangnya. Akhirnya saya lepas mereka semua dengan peringatan: Hati-hati pada copet. Sudah banyak orang yang menjadi korbannya.
Belakangan ini populasi copet di seputar alun-alun Menara Eiffel betul-betul membengkak. Saya sendiri sudah dua kali kehilangan dompet di sini. Teman-teman sesama tour leader sering bercanda dengan mengatakan, 'Dulu Paris adalah Kota Cinta. Sekarang Paris adalah Kota Copet.'Â
Puas berjalan-jalan di Menara Eiffel, saya mengantar semua tamu menuju Dermaga Bateaux-mouches, sebuah operator kapal pesiar dan perahu tour paling terkenal di Paris. Dari dermaga ini kita bisa berwisata air menyusuri Sungai Seine sambil menikmati keindahan Kota Paris.Â
Gertrude Stein, seorang penulis Amerika yang mempelopori perkembangan seni modern dan sastra modernis sangat mengagumi kota Paris sampai-sampai dia rela menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota cinta ini. Gertrude bahkan pernah mengucapkan sebuah kalimat yang menjadi legenda dan dikenal banyak orang, 'America is my country but Paris is my hometown.'
"Bonjour, Yoyo. Comment va tu?" teriak seorang sekuriti dermaga menyapa saya. Namanya Djamal seorang imigran dari Maroko. Orangnya berkulit hitam manis dan selalu ramah pada semua orang.
"Trs bien, merci. Et toi?"
"Moi aussi. Tu es belle aujourd'hui, Yoyo," kata Djamal lagi mulai menggombal.
"C'est gentil. Tu es beau aussi. Au revoir, Djamal." kata saya langsung menuju tempat penjualan tiket.
"Au revoir, Yoyo. Au revoir, Torro," kata Djamal.
"Hey Djamal! Stay away from her. She's mine!" kata Torro becanda pada sekuriti itu sambil merangkul pundak saya lalu berjalan bersama ke arah loket.Â