Krisis ekonomi. Seperti kisah cinta yang pahit. Krisis ekonomi menyisakan pelajaran. Ia membuat kita jadi lebih kuat. Atau lebih makin akrab dengan pinjol. Pinjaman online. Ia membuat kita sadar bahwa bahagia tidak harus mahal -- cukup lancar beli pulsa listrik.Â
Jadi, apa itu krisis ekonomi?
Krisis Ekonomi: Sebuah Kisah Cinta yang Gagal
Yoss Prabu
Krisis ekonomi itu seperti mantan yang tiba-tiba datang pas hidup kita lagi stabil-stabilnya. Dulu, kita hidup bahagia. Gaji cukup, cicilan lancar, ngopi masih pakai susu, bukan air mata. Tapi tiba-tiba dia datang -- krisis -- dan semua berubah. Harga cabai naik, isi dompet menurun, dan ATM cuma jadi tempat nostalgia.
Secara teknis, kata para ekonom yang (konon) bijak itu, krisis ekonomi adalah situasi di mana perekonomian suatu negara mengalami kontraksi tajam. Tapi secara emosional? Itu saat kamu nangis di kasur karena tahu besok gajian, tapi semua sudah habis buat bayar utang yang kamu buat pas merasa hidupmu stabil.
Krisis ekonomi itu romantis, karena di situlah kita benar-benar belajar arti cinta sejati. Apakah pasanganmu masih bersedia makan mi instan goreng tiga kali sehari sambil pura-pura bilang, "Aku suka kok yang begini, lebih sederhana." Atau malah bilang, "Kayaknya kita butuh jeda," lalu pergi bersama seseorang yang masih bisa ngajak makan Spaghetti Carbonara. Di retoran mahal.
Tapi jangan salah. Krisis juga mengajarkan filosofi hidup bahwa, angka di rekening bukanlah segalanya, meskipun segalanya butuh angka di rekening. Ia menunjukkan bahwa roda ekonomi itu berputar, tapi seringkali remnya blong dan kita semua jadi penumpang ojek online yang salah milih jalur.
Dan di tengah kehancuran ini, kita bisa melankolis bersama. Duduk di teras rumah, minum kopi sachet, memikirkan betapa dulu kita menolak diskon 20%, sekarang rebutan telur diskon 5%. Kita jadi puitis, "Apakah hidup ini tentang bertahan atau menyerah pada cicilan?"
Namun tak lengkap jika tanpa sarkasme. Para elite duduk manis di talkshow, bilang, "Masyarakat harus lebih bijak dalam mengelola keuangan." Padahal mereka sendiri punya lima kartu kredit dan gaji bulanan setara harga rumah subsidi. Kita yang cuma bisa beli nasi di warteg tanpa lauk, dianggap tidak produktif.