Saat ngomongin pembalap versi ini, sesekali saya menyisipkan cerita sahabat Nabi. Namanya Bilal bin Rabah.
"Ada lho sabahat Nabi yang kulitnya hitam tapi azannya bagus banget."
Setiap menceritakan Bilal, saya kerap terharu sebab dua hal. Satu, sebab sikap dan kebaikan yang melekat pada Bilal sampai-sampai terompahnya mendahuluinya masuk surga.
Kedua, sebab tidak banyak kisah sahabat yang saya hafal untuk diceritakan tanpa contekan. Dia lagi-dia lagi, Bilal salah satunya. Duh, iki mesti terharu apa menangis sedih ya.Â
"Setelah Nabi wafat, Bilal berhenti azan. Tahu enggak kenapa?"Â
Saya menatap anak-anak di depan. Ada lima anak yang mendengarkan cerita. Mereka menggelengkan kepala. Ammar menyentuh bahu Fawas, temannya yang naga-naganya sudah hanyut terbawa cerita.
"Sebab, Bilal amat kehilangan Nabi. Sejak Nabi wafat, Bilal enggak pernah bisa menyelesaikan  kalimat asyadu anna Muhammadarrosulullah saat azan."
"Oh iya, itu kan artinya aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah" Fawas menimpali.
"Betul. Setiap sampai kalimat itu Bilal selalu ingat nabi Muhammad. Bilal menangis. Ia rindu sekali kepada Nabi sampai-sampai ia tidak bisa menyelesaikan adzan."
Saya menghela nafas panjang. Anak-anak terdiam. Saya ingin sekali bisa menyimpan rindu yang istiqomah pada Nabi. Kangen terus seperti Bilal. Meneladani sunnahnya seperti sahabat lainnya.
"Terus-terus?" Salah seorang anak akhirnya bersuara. Saya sudah sampai di akhir cerita.