Ganteng mah relatif. Bukan dilihat dari warna kulit doang. Ganteng kalau jemput cewek di depan gang ya cemen. Ganteng itu ajakin cewek ke KUA. Hiyaaaa.
Saat melihat Ammar-sulung saya, ada saja keluarga yang berkomentar soal kulitnya. Salah satunya memberikan saran agar Ammar tidak berlama-lama main di bawah terik matahari. Mungkin ia melihat kulit Ammar yang makin eksotis alias kecoklatan.
Keluarga dekat kami tahu, awalnya Ammar tidak segelap ini. Kulitnya dulu berwarna lebih cerah. Seperti kulit bapaknya yang berdarah Bugis.
"Enggak papa kok Mas main di bawah matahari." Bela saya waktu itu. Namanya juga emak, anak sendiri dibela. Ye kan.
"Eh, cowok itu lebih ganteng kalau kulitnya putih lho." Sanggah keluarga saya lagi.
"Kata siapa?" Yakali itu selera dia aja.
Ganteng mah relatif. Bukan dilihat dari warna kulit doang. Ganteng kalau jemput cewek di depan gang ya cemen. Ganteng itu ajakin cewek ke KUA. Hiyaaaa.
"Lagian kalau kulitnya coklat nanti Ammar bisa jadi pembalap. Pemuda berbadan gelap." Â Saya bercanda. Ammar tertawa.
Akronim pembalap ini saya dapatkan dari cerpen awal tahun 2000an. Entah majalah apa yang saya baca. Mungkin Kawanku atau Aneka Yess.
Dulu 'pembalap' jadi salah satu idaman cewek versi cerpen remaja. Kulit coklat identik dengan maskulin. Meski, kulit perempuan kecoklatan juga sah-sah saja. Kulit sehat lebih utama daripada berdebat soal warna. Hanya saja saat itu belum tren lelaki berkulit putih ala K-Pop dan oppa Korea. Di jaman saya, tren artis Indonesia berkulit cerah dimulai dari Nicholas Saputra.