Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Overproud, Budaya yang Memabukkan

19 Februari 2017   21:17 Diperbarui: 19 Februari 2017   22:25 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai bangsa, kita adalah bangsa yang beruntung, karena Tuhan berkenan menganugerahkan berkat melimpah kepada kita, salah satunya berupa keberagaman budaya yang begitu unik dan kaya. Maka, wajar jika kita sangat membanggakan keberagaman budaya bangsa ini, kapanpun dan dimanapun kita berada. Tetapi sayang, dalam keberagaman budaya kita yang membanggakan ini, terdapat satu sikap yang kadang memalukan; Overproud (bangga berlebihan). Celakanya, entah sejak kapan, dan bagaimana caranya, sikap overproud  menjadi sikap yang terlanjur membudaya.

Kita sering melihat, setiap kali wakil Indonesia tampil di event internasional, kita merasa begitu bangga, kadang sampai berlebihan, apalagi jika mereka menjadi juara. Seperti euforia masyarakat, ketika ganda campuran bulutangkis Indonesia, Tontowi Ahmad, dan Liliana Natsir, sukses meraih medali emas, di cabang olahraga bulutangkis, kategori ganda campuran Olimpiade Rio de Janeiro 2016, tepat pada hari ulang tahun ke 71 kemerdekaan Republik Indonesia. Prestasi kelas dunia ini memang sangat pantas dibanggakan dan disyukuri. Tapi, kebanggaan, dan sikap overproud, justru akan menjadi bumerang bagi kedua atlet ini, apalagi jika kemudian mereka selalu dibebani target juara di turnamen-turnamen selanjutnya. Padahal kita tahu, dalam olahraga, selalu ada menang, dan kalah, tanpa boleh memilih, hanya boleh menerimanya.

If you not support us when we lose, don't support us when we win (jika kamu tidak mendukung kami ketika kami kalah, jangan dukung kami saat kami menang). Itulah yang dikatakan Bill Shankly, pelatih legendaris Liverpool FC era 1950an-awal 1970an. Kata-kata ini, sejatinya mengingatkan kita, bahwa dalam kehidupan manusia, selalu ada sisi gelap, dan terang, menang, dan kalah. Kedua sisi itu harus kita jalani tanpa kecuali. Tapi, sayang, kita seperti terbudaya untuk harus selalu menjadi pemenang. Jika kita menang, maka semua orang akan sangat membanggakan kita, seolah prestasi ini adalah milik mereka juga. Capaian kita juga akan mendapat kehormatan, pengakuan, medali, dan hadiah yang memabukkan.

Tapi, dampak negatifnya, kita akan dituntut untuk selalu menang, dan ketika kita kalah, itu mutlak menjadi milik kita seorang. Semua kritik dari segala penjuru menjadi hadiah lainnya. Tidak ada lagi dukungan. Semua orang seolah merasa berhak, dan layak menyampaikan kritik, dengan hujatan sebagai bonusnya. Semakin kejam kritik plus hujatan yang diberikan, maka akan semakin bagus. Pemenang yang kalah, akan berubah status, dari pahlawan, menjadi musuh bersama dalam sekejap.

Di sisi lain, mereka yang sejak awal sering kalah, adalah pihak yang sedikit lebih beruntung di awal. Mereka akan dilupakan, karena dianggap tidak punya kemampuan, dan tidak bisa diharapkan. Situasi inilah, yang sering membuat mereka berkembang tanpa beban. Pengakuan, dan puja-puji baru berdatangan, ketika mereka akhirnya menang. Dari sampah menjadi emas. Tapi, saat mereka kembali kalah, mereka menjadi seperti barang bekas yang dibuang. Fakta yang seolah menegaskan kebenaran pepatah Belanda; ere wien, ere toekomst (dimana ada kemenangan, disitu ada masa depan). Padahal, kehidupan tidak selalu seperti itu.

Kita hendaknya bersikap biasa saja saat menang. Kita boleh bergembira, tapi tidak berlebihan, apalagi sampai overproud. Saat kalah pun, kita boleh kecewa, tetapi tidak berlebihan. Kita tidak boleh hanya berpikir hanya soal capaian hari ini, tetapi, kita juga harus segera mulai berpikir, mempersiapkan diri, untuk yang akan dihadapi esok. Tanpa ada sorotan dan beban berlebihan. Untuk mencapai prestasi positif secara konsisten dan berkelanjutan, tetapi tetap sportif, dan menerima apapun hasil yang didapat. Tidak hanya dalam bidang olahraga, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari secara umum.

Bagaimanapun, sikap overproud (bangga berlebihan) ini, merupakan bagian dari budaya kita. Tetapi, sikap ini adalah budaya yang merusak, karena sikap ini tidak sesuai dengan hakikat budaya; memanusiakan manusia. Sikap ini benar-benar memandang manusia seperti barang; emas saat seseorang berjaya, sekaligus sampah saat seseorang berada di bawah.

Budaya adalah warisan leluhur yang harus selalu dilestarikan, sepanjang budaya itu bersifat positif. Tetapi, jika budaya itu bersifat negatif, itu adalah penyakit. kita harus berani melawan, untuk mengubah, atau melenyapkannya. Tentunya, dimulai dari diri kita sendiri. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun