Bagi (setidaknya sebagian) warga gereja, hari Minggu adalah waktunya berangkat beribadah ke Gereja. Entah pagi atau sore, ini adalah satu rutinitas yang biasa dilakukan dalam keadaan "siap" dan "sadar", layaknya berkunjung ke "rumah".
Di minggu biasa, momen ini mungkin terasa santai. Entah datang beberapa menit sebelum ibadah atau terlambat sekalipun, pasti tetap akan dapat tempat duduk.
Tapi, di minggu Paskah, situasinya sangat berbeda. Ada begitu banyak orang, yang bahkan rela datang 2 jam lebih awal (bahkan lebih) demi mendapat tempat duduk. Saking antusiasnya, gedung gereja sering tidak cukup.
Andai periode hari raya punya sesi ibadah tiap hari selama seminggu penuh sekalipun, mungkin animo dan ingar-bingarnya tidak akan beda jauh.
Sebagai orang yang terbiasa datang dalam mode durasi normal dan sendirian ke gereja, fenomena khas hari raya ini memang mencengangkan.
Jelas, saya kalah telak dari orang-orang dengan antusiasme luar biasa ini, karena hanya berpenampilan seperti biasa. Datangnya pun beberapa menit sebelum ibadah dimulai, seperti biasa.
Untungnya, karena postur saya kecil, "kurang" secara fisik dan hanya sendirian, tidak sulit untuk "nyempil" dan mendapatkan tempat duduk di dalam ruangan. Tapi, ketika melihat lagi, bagaimana perilaku anomali khas hari raya itu muncul, jujur saja, rasanya cukup membagongkan.
Ada antusiasme luar biasa, yang hanya ada di momen ini, dan hari Natal, tapi hilang di hari minggu biasa. Hanya di dua momen ini saja, mereka yang datang beberapa menit sebelum ibadah dimulai, seperti biasa, akan terlihat sangat "terlambat".
Suasana riuh rendah itu juga akan hadir di linimasa media sosial, lengkap dengan aneka ekspresi, termasuk euforia, yang membuat "warga biasa" seperti saya terlihat payah, karena memilih tidak mengabadikan momen, seperti biasa.
Kesan "kureng" itu juga semakin lengkap, karena saya justru memilih "bersikap terbalik" di hari raya. Sebagai contoh, pada masa Paskah, saya hanya datang pada hari Minggu Palma dan Minggu Paskah.