Di era kekinian, review makanan menjadi satu fenomena yang cukup menarik. Tidak seperti zaman dahulu, yang hanya mengizinkan seorang ahli di bidangnya untuk bicara, seorang peminat atau "enthusiast" pun boleh ikut unjuk suara.Â
Alhasil, muncul banyak perspektif baru, lengkap dengan berbagai pro-kontra di dalamnya. Kalau dilihat dari sudut pandang positif, ini adalah satu wujud keberagaman. Sesuatu yang sangat Indonesia, dan seharusnya bisa memperkaya wawasan audiens.Â
Dari yang tadinya sebatas satu-dua pandangan ahli, keberagaman ini mampu membuat review kuliner terasa lebih relevan bagi masyarakat awam, karena mereka bisa ikut berkontribusi, setidaknya lewat sudut pandang sebagai masyarakat.Â
Meski terkesan tidak biasa, sudut pandang ini biasa menjadi jembatan, yang menghilangkan gap antara pendapat ahli dan daya tangkap masyarakat. Disadari atau tidak, para "ahli" kadang kurang adaptif dengan daya tangkap masyarakat pada umumnya.Â
Apa boleh buat, pesan yang ingin disampaikan sering tidak sampai, dan disinilah sudut pandang alternatif, seperti dari kalangan penggemar atau "enthusiast" hadir sebagai solusi.Â
Masalahnya, di balik sisi positif ini, terdapat juga sisi negatif, seperti subjektivitas, fanatisme (pada aspek atau tokoh tertentu) dan (yang paling ekstrem) niat jahat. Sisi negatif inilah, yang belakangan disorot, antara lain karena menciptakan suasana tidak sehat.
Sebagai orang yang pernah melakukan review kuliner lewat tulisan, suasana tidak sehat ini sangat disayangkan. Apalagi, ketika ada oknum yang tega memanfaatkan review kuliner sebagai modus pemerasan, dengan nominal yang tidak masuk akal.
Fenomena seperti ini terasa menyesakkan, karena disaat orang lain berusaha sehati-hati mungkin, tanpa memikirkan nominal atau semacamnya, ada oknum yang sengaja merusak ruang kerja orang lain dan potensi manfaat yang lebih luas, hanya demi keuntungan pribadi.
Celakanya, perilaku negatif ini lalu ditiru juga oleh beberapa pihak, termasuk mereka yang masih pemula, sehingga menjadi satu tren negatif. Terbukti, sudah ada banyak usaha kuliner yang sepi bahkan tutup, akibat terdampak penilaian negatif, yang ironisnya bukan datang dari ahli di bidangnya.
Jadi, tidak mengejutkan kalau boikot mulai muncul, dengan para pelaku bisnis kuliner kompak menolak tamu yang memberi penilaian terlalu kejam. Apa boleh buat, satu potensi pekerjaan yang bisa memberdayakan banyak orang terancam hilang, hanya karena oknum berulah.