Memang, satu gol berhasil dicetaknya ke gawang Meksiko di menit akhir babak kedua, tapi itu hanya "membantu" Polandia lolos mendampingi Argentina, karena unggul selisih gol atas Meksiko, meski sama-sama punya 4 poin.
Andai Polandia punya cara berpikir seperti Arab Saudi di pertandingan pertama, mungkin pemerintah mereka sudah menetapkan hari libur nasional, karena Polandia akhirnya bisa lolos dari fase grup, untuk pertama kalinya sejak Piala Dunia 1986.
Tapi, itu jelas sedikit memalukan, karena Polandia pernah meraih medali perunggu Piala Dunia 1974 dan 1982 kala dibintangi Gregorz Lato dan Zbigniew Boniek. Jadi, tidak ada alasan untuk dirayakan berlebih. Apalagi, Prancis sudah menunggu di babak perdelapan final.
Apa boleh buat, Arab Saudi yang tadinya berpeluang membuat kejutan lebih besar justru harus "menggenapi" prediksi awal banyak pihak: tersingkir (lagi) di fase grup, kali ini sebagai juru kunci.
Secara permainan, raksasa Asia ini memang tampil cukup baik, tapi rasa puas diri yang muncul setelah laga perdana terbukti merusak potensi yang sudah mereka tampilkan.
Andai euforia itu tidak muncul terlalu cepat, mungkin ceritanya akan berbeda. Ironisnya, di saat bersamaan, Argentina mampu bangkit dari kekalahan dan menjadi juara grup, berkat sepasang kemenangan 2-0 atas Meksiko dan Polandia.
Sebuah paduan sempurna dari bahaya puas diri, dan kuatnya mental sebuah tim yang mampu bangkit dari kekalahan.
Apa boleh buat, "Dongeng 1001 Malam" Arab Saudi di Qatar yang berawalan indah harus berakhir tragis. Tidak mengenakkan,
tapi beginilah sepak bola, ia sangat membenci rasa puas diri yang datang terlalu cepat.