Dalam hal seni kriya (kerajinan), Indonesia dikenal sangat kaya. Salah satu kekayaan itu adalah kain tenun. Ada begitu banyak daerah, yang punya kain tenun khas. Salah satunya adalah daerah Bima. Nusa Tenggara Barat, dengan kain sarungnya.
Dalam bahasa setempat, sarung dikenal dengan sebutan Tembe. Tembe merupakan satu produk seni kriya tradisional khas Suku Mbojo.
Secara historis, catatan sejarah tentang kain di Bima sudah ada sejak abad 16 masehi. Tome Pires, seorang penjelajah asal Portugal, sempat singgah di Pelabuhan Bima. Dalam catatan perjalanannya, ia mencatat aktivitas perdagangan di pelabuhan Bima.
Dimana, salah satu komoditinya adalah kain kasar, yang notabene merupakan bahan Tembe. Kain kasar dahulu banyak di produksi di pulau Sangeang Api atau Wera.
Sejak dahulu, masyarakat Suku Mbojo sudah mengenal teknik memproduksi kain menggunakan alat tenun. Mulai dari menanam kapas, memetiknya, mengolah hingga menjadi benang.Â
Proses pembuatan benang tradisional dulunya sering dilakukan oleh kaum tua di desa. Seiring munculnya kemajuan teknologi, lewat kehadiran benang tekstil, proses pembuatan kain secara tradisional mulai ditinggalkan.
Pada masa lampau, masyarakat Bima belum mengenal istilah Katente (lipat sarung) atau Tembe (sarung). Mereka masih memakai Deko, semacam kain panjang. Tren kain sarung baru muncul pascaperjanjian Bongaya, antara Kerajaan Islam Gowa-Tallo dan VOC tahun 1667.
Salah satu dampak perjanjian ini memicu eksodus orang Bugis ke Bima sekitar tahun 1670-an. Kedatangan mereka memicu akulturasi budaya di Bima. Alhasil, berbagai kesenian, pakaian dan ritus-ritus bercorak Islam menjadi corak kebudayaan masyarakat Bima hingga kini. Sejak saat itu, masyarakat Bima, khususnya Suku Mbojo, mulai mengenal Katente, Tembe, Rimpu, dan motif pada kain.
Dalam kategori warna, kain Tembe punya sembilan warna, yakni kuning, hijau, biru, hitam, merah, coklat, ungu dan oranye. Proses pewarnaannya menggunakan pewarna natural dari getah pepohonan.
Untuk warna kuning bahan pewarnanya berasal dari pohon atau tanaman Cira (cudrania), Palawu (butterfly pea) dan kesumba (safflower).Â