Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Berkenalan dengan Rumah Adat Suku Sasak di Desa Sade

16 November 2021   00:01 Diperbarui: 16 November 2021   00:04 5021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Adat Suku Sasak di Desa Sade (Sumber gambar: Okezone.com)

Sebagai bangsa, Indonesia diberkahi dengan keanekaragaman suku dan budaya, dengan kekhasan masing-masing. Inilah yang membuat setiap daerah punya rumah adat berbeda-beda. Di Desa Sade, Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) misalnya, terdapat Rumah Adat Suku Sasak.

Rumah Adat ini belokasi di Desa Sade, yang merupakan sebuah Perkampungan Adat Suku Sasak. Desa Sade terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi NTB. Lokasinya berdekatan dengan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, yang baru-baru ini ditetapkan sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas, atau yang dikenal sebagao DSP Mandalika oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Komunitas Suku Sasak di sini masih mempertahankan dan menjaga keaslian budaya klasik Suku Sasak sejak zaman pemerintahan Kerajaan Pejanggik (1458-1692) di Praya (Kabupaten Lombok Tengah) sampai sekarang.

Bagi masyarakat Suku Sasak, rumah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan, baik fisik maupun spiritual. Jadi, selalu ada pertimbangan khusus dalam membangun Rumah adat,yang merupakan bagian dari tradisi turun-temurun. Aspek-aspek yang dipertimbangkan tersebut umumnya berkaitan dengan waktu, lokasi pembangunan, dan estetika bangunan..

Dalam menentukan waktu pembangunan, masyarakat Suku Sasak biasanya berpedoman pada papan warige dari primbon tapel adam dan tajul muluk. Untuk menentukan hari baik, biasanya mereka bertanya kepada pimpinan adat. Orang Sasak meyakini waktu yang baik memulai membangun rumah adalah bulan ketiga dan keduabelas penanggalan Sasak yakni Rabiul Awal dan Dzulhijah. Pantangan yang dihindari untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan Ramadhan. Menurut kepercayaan setempat, rumah yang dibangun pada bulan itu cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rezeki dan lain-lain.

Di sisi lain, orang Sasak juga selektif dalam menentukan tempat pembangunan rumah. Mereka meyakini tempat yang tidak tepat, seperti bekas perapian, bekas pembuangan sampah, bekas sumur, atau posisi susur gubug (tusuk sate) akan membawa dampak kurang baik dalam hal peruntungan.

Aspek ini juga berkaitan dengan unsur estetika. Dimana, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan berbeda ukuran dengan rumah yang lebih dulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan maliq lenget (melawan tabu). Dalam membangun rumah, orang Sasak juga menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya.

Secara khusus, Rumah Adat Suku Sasak di Desa Sade dikenal dengan sebutan Bale Tani. Sebutan rumah ini berangkat dari corak agraris masyarakat setempat, yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Bale Tani memiliki satu pintu masuk berukuran setinggi 1,5 meter dan tanpa jendela, dengan Lumbung sebagai bangunan pendukung.

Bangunan induknya dikenal dengan sebutan Bale Inan (ruang induk), yang meliputi Bale Luar (ruang tidur) dan Bale Dalem (berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang persemayaman jenazah sebelum dimakamkan). Sementara itu, bangunan lain yang menjadi pendukung disebut Lumbung, dengan fungsi utama sebagai tempat menyimpan padi hasil panen atau kebutuhan sehari-hari.

Di Bale Dalem, terdapat juga Dalem Bale (kamar anak gadis) dan Pawon (dapur). Di area dapur, biasanya terdapat dua buah tungku yang digunakan untuk memasak, dan posisinya menyatu dengan lantai.

Selain itu, antara Bale Dalem dengan Bale Luar dihubungkan dengan anak tangga berjumlah tiga, yang secara filosofis menyimbolkan fase kehidupan manusia yaitu lahir, berkembang, dan mati. Secara posisi, Bale Dalem letaknya lebih tinggi dibandingkan dengan Bale Luar.

Lantai rumah Bale Tani terbuat dari campuran tanah, getah pohon, dan abu yang kemudian diolesi dengan kotoran kerbau. Menurut warga Desa Sade, kotoran kerbau berfungsi sebagai penghilang kelembaban tanah dan juga mengusir nyamuk. Warga desa Sade punya kebiasaan unik yang khas yaitu mengepel lantai menggunakan kotoran kerbau setiap dua minggu sekali. Pada masa sebelum ada cor semen, mereka terbiasa mengoleskan kotoran kerbau di lantai rumah hanya bercampur dengan air saja.

Dinding-dinding Bale Tani terbuat dari anyaman bambu. Bahan bangunan seperti kayu dan bambu didapatkan dari lingkungan sekitar. Di sini, paku dari bambu biasa digunakan, untuk menyambung bagian-bagian kayu.

Atap Bale Tani didesain sangat rendah dengan pintu berukuran kecil, bertujuan agar tamu yang datang harus merunduk. Sikap merunduk merupakan simbol sikap saling respek antara tamu dengan tuan rumah. Atap dan bubungannya dibuat dari jerami atau alang – alang, dan rumbia

Dari sekelumit cerita di atas, kita dapat menyimpulkan, Rumah Adat Suku Sasak di Desa Sade memiliki keunikan tersendiri, dan sarat nilai-nilai mendalam, baik dari segi fungsi, estetika, budaya, dan filosofis. Maka, wajar jika pada tahun 2010 Rumah Adat Suku Sasak di Desa Sade ditetapkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sebagai  "Warisan Budaya Takbenda Indonesia”. Kini, Desa Sade telah berkembang menjadi salah satu destinasi wisata budaya di Lombok, dengan Rumah Adat Suku Sasak sebagai ikonnya.

Sekilas, dua tulisan saya tentang Suku Sasak terlihat “out of topic” dengan lomba seputar DSP Mandalika, yang bertemakan wisata olahraga dan alam. Tapi, bahasan tentang Suku Sasak ini menjadi relevan, dalam posisi mereka sebagai masyarakat setempat di Lombok, yang notabene merupakan satu target utama pemberdayaan dalam program “Wonderful Indonesia” dan “di Indonesia Aja”.

Di sisi lain, budaya yang dimiliki masyarakat Suku Sasak juga menunjukkan, bagaimana kondisi alam Pulau Lombok turut mempengaruhi corak budaya mereka. Salah satu produk budayanya adalah Kain Tenun Khas Suku Sasak, yang saya bahas di tulisan saya sebelumnya.

Inilah cara adaptasi, yang memungkinkan mereka dapat hidup berdampingan dengan alam, dari generasi ke generasi. Jika keunikan ini mampu disinergikan dengan kemegahan Sirkuit Mandalika dan keindahan alam Pulau Lombok secara umum, bukan tak mungkin Lombok, dengan DSP Mandalika sebagai gerbangnya, akan jadi destinasi wisata kelas dunia, seperti halnya Bali, yang memang sudah mendunia.

Masyarakat setempat, berikut budayanya, menjadi poin yang juga layak dilihat, dan diberdayakan, karena keberadaan mereka ikut membangun ciri khas suatu daerah. Dengan demikian, masyarakat setempat, seperti halnya warga Suku Sasak, tak akan jadi “penonton di rumah sendiri” dalam gemerlap kemegahan, dan pesona keindahan di DSP Mandalika.

Referensi:

  • Widianti, A. N. K. (2017). Preservasi Rumah Adat Desa Sade Rembitan Lombok Sebagai Upaya Konservasi. Vitruvian, 6(3), 185916.
  • Proyek Penelitian, & Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
  • Lia H, Dian Kristiani (2018). Rumah Adat, Seri Ensiklopedia Negeriku. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP), Anggota IKAPI. hlm. 58. ISBN 978-602-483-437-1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun