Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gara-gara Polarisasi Politik

15 Juni 2021   16:50 Diperbarui: 15 Juni 2021   17:08 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Polarisasi Politik (Tirto.id)

Polarisasi. Inilah situasi yang muncul di Indonesia, khususnya dalam hal pandangan politik, selama beberapa tahun terakhir.

Dimulai dengan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017, yang entah bagaimana caranya, bisa menghebohkan seluruh negeri, bahkan sampai jadi sorotan media internasional, polarisasi di masyarakat terus bergulir bak bola salju, makin lama makin parah.

Puncaknya, terjadi pada Pemilu dan Pilpres 2019 yang penuh drama.  Polarisasi sukses membuat masyarakat terbelah. Ada keriuhan luar biasa, yang sekilas merupakan bagian dari dinamika berdemokrasi, tapi cenderung kebablasan dan menyerempet area yang tidak seharusnya.

Lucunya, saat pihak yang bersaing saat pemilu dan pilpres akhirnya bekerja sama dalam satu tim, polarisasi tetap saja ada, bahkan makin parah. Ironisnya, ini terjadi di sebuah negeri yang membanggakan perbedaan sebagai identitas. Mengenaskan.

Entah kenapa, saya justru melihat, efek polarisasi yang tak kunjung dibereskan ini seperti memaksa bangsa kita terseret mundur, kembali ke masa kolonial. Sebuah masa penuh adu domba, dimana perbedaan yang ada sukses dimanfaatkan penjajah menjadi jurang pemisah.

Ada labelisasi, hanya karena perbedaan pandangan, mulai dari kepada yang pro pada satu pandangan, sampai mereka yang memilih bodo amat. Pada akhirnya, ini hanya menghasilkan para "labelis" yang memecah belah.

Pujian kepada satu pihak seringkali ditelan mentah-mentah, sementara kritik langsung dibuang begitu saja. Inilah salah satu alasan, mengapa penanganan pandemi Corona di negara ini cenderung jalan di tempat, padahal ini sudah tahun kedua sejak pandemi mulai merebak. Itu baru satu aspek, belum yang lain.

Tentu saja ini tak sehat. Pada manusia saja, harus ada keseimbangan ragam rasa yang dikonsumsi.

Tak boleh ada satu rasa yang terlalu dominan, karena bisa mendatangkan penyakit kronis. Begitu juga pada pandangan untuk hal-hal semacam ini.

Harus tetap ada objektivitas, supaya pikiran tetap waras. Apresiasi boleh ada untuk hal-hal baik yang sudah ada, supaya bisa ditingkatkan, atau minimal dipertahankan.

Di sisi lain, kritik layak hadir jika ada kekurangan, supaya kekurangan yang ada bisa diperbaiki, syukur-syukur dihilangkan. Satu hal yang perlu diperhatikan, kritik tidak sama dengan menghujat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun