Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Gelap Itu

23 April 2021   11:22 Diperbarui: 23 April 2021   11:40 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bebaskan dirimu, karena kamu juga berhak untuk bahagia."

Itulah resep yang diberikan psikolog klinis kepadaku, pada satu sore, tepat sebelum pagebluk melumpuhkan segalanya. Di satu sudut ibukota itu, akhirnya aku bisa menemukan satu alasan, untuk bisa melihat dengan jelas, ada apa sebenarnya dengan diriku.

Inilah satu oleh-oleh yang akhirnya kubawa pulang, di penghujung tahun kembar nan jahanam itu.

Mungkin, kalian akan menganggap, aku sudah putus asa, aku bermasalah, aku sakit jiwa, karena memilih pergi langsung ke psikolog, tanpa berbicara dengan orang-orang terdekat. Dengan gagahnya, aku mengakui,

"Aku sedang tidak baik-baik saja."

Ya, inilah pilihan paling waras buatku. Aku perlu melihat lagi semuanya dengan waras, bersama orang yang memahami betul, dalam kapasitasnya sebagai seorang ahli sungguhan, dan kesediaan untuk mendengar.

Keputusan ini mungkin terdengar kuno, karena di era digital ini, limpahan informasi bisa membuat seorang pembual tampak lebih ahli daripada ahli sebenarnya. Semua terlihat mudah, tapi kenyataannya tak begitu.

Ternyata, aku sudah terlalu lama memendam semua emosi yang seharusnya kubuang. Aku sebenarnya tak terlalu kaget melihat itu, karena aku memang dibesarkan di lingkungan yang agak kurang biasa.

Benar, inilah ruang gelap yang membuatku terasa menyedihkan. Keinginan untuk coba bersikap terbuka selalu kalah dengan ego benar atau salah, dan dikte tanpa jeda.

Bangun pagi menjadi sebentuk simbol kesombongan, berekspresi dan terlihat berbeda dianggap sebagai satu pembangkangan, selagi bicara dianggap sebagai satu sikap kurang ajar.

Buat apa bangun pagi, jika tak ada yang benar-benar harus dilakukan? Buat apa bangun pagi, jika yang kujumpai hanya kebuntuan demi kebuntuan?

Aku ingat, ada begitu banyak hal beracun yang kutemui setelah pulang. Ada cara pandang sangat ekstrem yang menyesakkan, karena itu membuatku pernah kesusahan saat hidup di dunia luar.

Ada juga obsesi berlebihan pada kesehatan tubuh, tapi mengabaikan kesehatan jiwa. Sakitnya orang lain seolah dianggap sebagai satu kemenangan, selagi pagebluk membuat semua makin menjengkelkan.

O ya, ada juga sikap pamer berbungkus rasa syukur, yang membuatku muak. Berdoa dan bersyukur agaknya sudah mati di kehidupan nyata. Mereka kini hidup di ruang pameran.

Benar, ini sangat melelahkan untuk diikuti. Aku sadar, aku hanya perlu diam, tak melakukan apapun. Tutup mata, tutup telinga, seperti sikap Kumbakarna pada Rahwana.

Aku tidak malas, aku hanya menyadari, semua yang kulakukan dianggap tak ada gunanya, tak ada yang benar. Jadi aku memilih tidak melakukan apa-apa.

Di ruang gelap yang terkungkung ini, aku hanya seorang pesakitan, yang dipaksa pulang karena pagebluk, dan harus menghadapi jalan buntu, dalam perasaan terbuang dan terlupakan yang menyakitkan, bersama kemunduran demi kemunduran.

Andai aku mati, mungkin tak ada yang akan merasa kehilangan. Siapa aku? Aku hanya seorang pesakitan.

Aku ingin membebaskan diri, sebelum nantinya pergi dengan perasaan lepas. Entah kapan saat itu tiba, tapi aku akan sangat merindukannya, karena ada rasa bahagia di sana. Rasa utuh sebagai seorang manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun